Mahasuci Allah, yang “ telah memperja lankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.“ (QS al-Isra' [17]: 1).
Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa meng adakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakal pun tidak bisa menerimanya.

Peristiwa Isra dan Mi'raj yang berlangsung lailan (pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas agar tidak terlena dengan kemahabesaran dan kekuasaan Allah.

Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar. Dan, kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia, Muhammad Rasulullah SAW. Karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah SAW adalah ketika sedang menjalani Isra dan Mi'raj. Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau menaklukkan Kota Mekkah.
Karena, saat Isra dan Mi'raj, sekali-kalinya Allah SWT berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril RA.

Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam surah alIsra [17]: 1. Mengapa beliau tidak disebut dengan rasulNya, nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Saat itulah Allah SWT rida kepadanya.

Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah adalah penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah dengan penuh kerelaan.

Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah membuka kesempatan kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah.

Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.

Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya karena Allah tidak menilainya berdasar nasab.

Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan.
(sumber: Republika edisi : Kamis, 14 Juni 2012 Oleh Mohammad Sofwan)

Post a Comment

 
Top