Masjid dari akar kata sajada-yasjudu berati sujud, lalu membentuk kata masjid yang berarti tempat sujud. Segala sesuatu yang ditempati sujud untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dapat disebut masjid.

Nabi Muhammad SAQ pernah mengatakan, al-ardhu masjid (bumi adalah masjid). Dengan demikian, bumi ini bersih dan dapat digunakan untuk bersujud. Seorang petani shalat dan sujud di atas pematang sawah, seorang nelayan shalat dan sujud di atas pasir pantai, seorang tukang kebun shalat dan sujud di atas batu menghadap kiblat sama dengan orang yang sujud di atas sajadah di rumah atau di masjid.
 
Masjid dalam perspektif Alquran tidak selamanya berarti bangunan khusus untuk beribadah bagi umat Islam. Peristiwa Isra Mi'raj yang melibatkan dua kata masjid, sebagaimana diebutkan di dalam QS al-Isra’ [17]:1, yaitu Masjid al-Haram di Mekkah dan Masjid al-Aqsha di Palestina, belum memiliki bangunan khusus seperti sekarang.

Masjid al-Haram lebih merupakan pelataran Ka’bah dan Masjid al-Aqsha adalah sebongkah batu besar yang biasa disebut “batu gantung” karena dimitoskan batu itu ingin menyertai Nabi Muhammad SAW ke Sidratil Muntaha. Kini, batu besar itu berada di dalam bangunan masjid di kompleks al-Aqsha.
   
Dalam perspektif ahli tarekat, badan manusia juga bisa disebut pakaian, tempat tinggal, sekaligus sebagai tempat sujud (masjid) dimensi-dimensi batin manusia, seperti kalbu, jiwa, ‘aql, dan ruh manusia.

Bahkan, dalam perspektif ilmu hakikat, badan biasa disebut "bait Allah" atau Divine House (Rumah Tuhan) karena di dalam badan manusia terdapat roh yang dianggap sebagai unsur suci dari Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam ayat Alquran, Fa idza sawwaituhu wa nafakkhtu fihi min ruhi (Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku (QS al-Hujurat [15]:29).

Badan sebagai "bait Allah" (baca: Baitullah) merupakan nama lain dari Ka’bah atau kiblat umat Islam di dalam melaksanakan sejumlah ibadah mahdhah, seperti shalat. Ka’bah juga sekaligus sebagai objek tawajjuh, sebagaimana selalu kita ikrarkan di dalam doa iftitah, Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Rabbil ‘alamin (Sesungguhnya shalatku, urusanku, dan hidupku hanya untuk Allah Tuhan semesta Alam).

Badan manusia dianggap sebagai Baitullah atau Ka’bah secara maknawi, dianalogikan dengan ‘Arasy, yaitu singgasana Tuhan, Baitul Ma’mur, yaitu miniatur ‘Arasy yang khusus dibangun Tuhan untuk para malaikat setelah menyadari kelancangannya mempertanyakan kebijakan Tuhan dan Ka’bah miniatur Baitul Ma’mur yang dibangun para malaikat untuk Adam dan istrinya setelah melanggar larangan Tuhan di Surga.

Badan sebagai pakaian, tempat tinggal, dan masjid, apalagi dianalogikan sebagai Baitullah atau Ka’bah, sudah barang tentu harus bersih dari noda dan dosa. Pembersihan badan bukan hanya membersihkannya dari kotoran fisik dengan cara berwudhu, tayamum, atau mandi dengan menggunakan air, sabun, atau sampo, tapi juga harus dipelihara kebersihannya dari noda, seperti juga terhadap dosa dan kemaksiatan.

Kalangan ulama tarikat mendasarkan pendapatnya dengan mengutip ayat Alquran, Wa tsiyabaka fathahhir, wa al-rujzah fahjur (Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah perbuatan dosa) (QS al-Muddatsir [74]:3-4).

Yang dimaksud dengan pakaian di sini bukan hanya baju yang menempel di badan, tetapi badan yang merupakan pakaian atau selimut dimensi batin. Cara pembersihannya tentu bukan hanya membersihkan kotoran fisik, tetapi juga dengan kotoran nonfisik. Kotoran nonfisik, seperti dosa-dosa kemusyrikan.

Musyrik dalam perspektif fikih menyembah Tuhan selain Allah SWT. Bisa diartikan memberikan loyalitas kepada objek tertentu selain hanya kepada Allah SWT, seperti menyembah berhala atau benda-benda tertentu yang diyakini mampu menentukan nasib seseorang.

Dalam pandangan Alquran, sebagaimana ditafsirkan kalangan ahli tarikat, kemusyrikan adalah najis, sebagaimana disebutkan di dalam ayat Alquran, Ya ayyuhalladzina amanu innamal musyrikina najasun, fala yaqrabu al-masjid al-haram….  (Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam. (QS at-Taubah [9]:28).

Selanjutnya, yang dimaksud musyrik ialah memberikan loyalitas kepada sesuatu selain Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam ayat Alquran, "Pernahkah kalian melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk) serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya? Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mau ingat?" (QS al-Jatsiyah [45]:23).

Dalam perspektif ahli hakikat, syirik diartikan menyaksikan sesuatu selain Allah. Jika seseorang menyaksikan sesuatu tanpa bisa menghadirkan (kualitas) Tuhan maka bisa disebut musyrik. Dasarnya ialah ayat Allah SWT, Fa ainama tuwallu fa tsamma wajh Allah (Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah [2]:115).

Jika seseorang melihat sebatang pohon hanya sebatang pohon semata, tanpa mampu menghadirkan (kualitas) Tuhan di dalam pohon itu maka itu ada masalah kemusyrikan (lihat artikel terdahulu tentang Konsep Tauhid).

Dari sinilah muncul istilah junub secara harfiah berarti jauh atau berjarak dengan Allah SWT karena masih seseorang masih merasakan adanya sumber kepuasan selain hanya Allah SWT, yakni ia memperoleh kepuasan dari pasangan biologisnya. Seorang hamba sejati menghanyutkan perhatian (fana’) hanya kepada Allah SWT, tetapi orang yang berhubungan suami istri fana’ kepada nafsu melalui pasangannya.

Seorang yang sedang janabah harus mandi junub dan tidak boleh ada sehelai rambut pun yang tidak tercuci. Ini sebagai ilustrasi tidak boleh ada sehelai rambut pun yang menjadi objek kepuasan selain Allah SWT.

Di sinilah arti penting thaharah dalam Islam. Cara penyucian diri manusia bergantung jenis kotoran yang melekat pada dirinya. Jika kotorannya berupa fisik maka penyuciannya dengan air biasa. Cara pembersihannya ialah dengan cara mandi, berwudhu, atau tayamum dengan tanah.

Jika jenis kotorannya berupa dosa atau maksiat maka penyuciannya dengan sesuatu yang  nonfisik, yang biasa disebut dengan air hakikat (mahiyah). Yang dimaksud air hakikat ialah ilmu pengetahuan, sebagaimana sabda Nabi, al-ma`u ‘ilm Allah (air adalah ilmu Allah).

Ilmu Allah masuk di dalam al-‘alam al-amr, tidak masuk dalam al-‘alam al-khalq. Dengan demikian, seseorang yang mendapat anugerah makrifah Allah bukan saja mendapatkan ilmu yang amat penting, melainkan juga membersihkan dirinya dari dosa. Perbuatan dosa anak manusia harus dibersihkan dengan air atau tanah dan disucikan dengan air hakikat (makrifat Allah).
   
Hakikat masjid bukan hanya masjid atau mushalla dalam pandangan ilmu tarikat dan ilmu hakikat, tetapi keseluruhan alam (al-khalq) ini adalah masjid karena bisa merupakan lokus untuk sujud, beribadah, dan ber-tawajjuh kepada Allah SWT. Badan sebagai penyimpan atau tempat tinggal berbagai kotoran, harus betul-betul dibersihkan, disucikan, dan dihayati. Inilah makna hadis yang sering dikutip di dalam kitab tasawuf, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barangsiapa sudah mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya). Allahu A’lam. 


(sumber:Republika Oleh Nasaruddin Umar)

Post a Comment

 
Top