Begitu singkat Allah merumuskan fungsi diutusnya Nabi Muhammad ke atas bumi: ''Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali hanya untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.'' Lalu pertanyaan introspektif mengusik nurani kita. Kalau itu fungsi utama kerasulan Nabi Muhammad, lalu kita sebagai umatnya yang berkewajiban mentauladani beliau, apa tugas kita dihidupkan oleh Allah di atas bumi? Sudah tentu jawaban yang paling singkat adalah bagaimana usaha kita untuk menjadi rahmat bagi apa pun dan siapa pun, sebagaimana Nabi.

Kalau kita sebagai ayah, maka kita berusaha agar keberadaan kita itu menjadi rahmat minimal bagi anak dan istri. Kalau kita sebagai anak, bagaimana bisa menjadi rahmat minimal bagi orangtua dan teman-teman. Kalau kita sebagai pegawai, bagaimana menjadi rahmat bagi kantor, atasan dan teman-teman sekerja. Kalau kita sebagai petani, bagaimana menjadi rahmat bagi sawah dan tanaman kita sehingga tumbuh dan membuahkan hasil yang baik. Dan demikian seterusnya.

Ternyata fungsi ''menjadi rahmat'' dapat menjadi ukuran kualitas kemanusiaan kita. Semakin luas jangkauan rahmat keberadaan kita maka semakin luas pula nilai kemanusiaan kita. Seorang ahli hikmah membuat ukuran yang lebih riil untuk mengetahui kualitas rahmat keberadaan kita. ''Wahai anak keturunan Adam!'' katanya, ''Ibumu dulu melahirkan kamu dalam keadaan menangis, sementara orang-orang sekitarmu tertawa bahagia dengan kehadiranmu. Maka kalau kamu mati kelak, matilah kamu dalam keadaan tersenyum, sementara orang-orang di sekitarmu menangis.''

Dari hikmah itu kita bisa mengetahui kadar kualitas kemanusiaan seseorang. Seberapa banyak orang yang menangisi dan ikut berduka cita atas kematian dan kepergian seseorang, maka sebanyak itu pula nilai orang itu. Bila yang menangisi hanyalah anak dan istrinya maka nilai rahmat keberadaannya hanyalah sebatas anak dan istrinya. Bila yang berduka cita seluruh dunia maka nilai kemanusiaannya seluruh dunia.

Dengan demikian, nilai kualitas keberadaan masing-masing manusia tidaklah sama. Sesuai dengan tingkat jangkauan keberadaannya menjadi rahmat bagi orang lain. Seorang ahli hikmah berkata, ''Di antara manusia ada yang seribu sama dengan satu orang, dan ada pula satu sama dengan seribu orang, sesuai dengan tingkat perhatiannya terhadap masalah yang menjadi profesinya.''

Menjadi rahmat maksudnya menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Kebalikan rahmat adalah niqmah, artinya: kebencian, penyakit, siksaan, murka, dan dendam. Kalau kita tidak menjadi rahmat berarti menjadi niqmah, menjadi pendendam, penyiksa orang lain, pembawa kemelaratan, penyebar sial, dan lain-lain. Orang demikian biasanya, jangankan ada orang yang berduka cita atas kematiannya, bahkan ketika hidup pun, orang lain telah mengharapkan kematiannya.

Sudah tentu kualitas keburukan orang semacam itu tergantung kepada seberapa banyak orang yang mengharapkan kematiannya dan seberapa banyak orang tertawa dan gembira atas kematiannya. Marilah kita berusaha untuk menjadi rahmat bagi orang lain.

(sumber:Republika)

Post a Comment

 
Top