Dituturkan bahwa Abu Ghayyats az-Zahid yang tinggal di pekuburan di Bukhara berkunjung ke kota untuk menyambangi saudaranya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan putra mahkota, Nashr bin Ahmad. Anak amir itu asyik bermain-main dan bernyanyi-nyanyi dengan yang lainnya, keluar dari rumahnya. Hari itu kebetulan amir sedang menggelar open house.

Ketika Abu Ghayyats melihat ulah mereka, ia pun berujar dalam hati, "Duhai diri, satu hal sedang terjadi, jika kamu diam, berarti kamu bermitra dengannya." Kemudian, Abu Ghayyats menengadahkan kepalanya ke langit, meminta tolong kepada Allah SWT. Ia lalu mengambil tongkat dan menghalau mereka dengan sekali entakan. Mereka pun lari, mundur, hingga berakhir di rumah amir.

Lantas mereka menceritakan apa yang terjadi kepada amir. Amir pun memanggil Abu Ghayyats dan berkata, "Tahukah kamu, siapa yang membangkang kepada penguasa, maka ia akan makan siang di penjara!" Abu Ghayyats menjawab, "Tahukah Anda, siapa yang membangkang terhadap Allah, maka ia akan makan malam di neraka!"

"Siapa yang memberimu tugas ini?" tanya amir. "Yang memberimu tugas keamiran (kekuasaan)," jawab Abu Ghayyats. Sang amir menukas, "Yang memberi mandat kepada saya adalah khalifah."
 
"Dan yang memberiku mandat ini adalah Rabbul-khalifah (Tuhan khalifah)."

"Kalau begitu, saya angkat kamu untuk menangani perkara ini di wilayah Samarkand."

"Lengserkan saja saya darinya."

"Aneh orang ini! Kamu melaksanakan sesuatu yang tak diperintah, sedang yang diperintah justru tak kau kerjakan."

"Karena jika Anda mengangkat saya, maka Anda juga akan bisa melengserkan saya. Tapi, jika saya di tunjuk oleh Rabb saya, maka tiada seorang pun yang bisa melengserkan saya."

"Kamu perlu apa? Mintalah!" kata amir pula.

"Jadikanlah saya muda lagi," jawab Abu Ghayyats.

"Itu bukan wewenang saya."

"Apa kebutuhanmu yang lain?"

"Kau tulis surat kepada penjaga neraka agar tak menyiksa saya."

"Itu juga bukan wewenang saya," kata amir pula. "Hajatmu yang lain, apa lagi?"
 
"Kaukirim surat pada penjaga surga agar memasukkan saya ke surga."

"Itu juga bukan wewenang saya."

Abu Ghayyats pun berucap, "Maka hiduplah bersama Rabb yang memiliki dan menguasai semua kebutuhan. Tidaklah saya meminta suatu kebutuhan, kecuali Dia mengabulkannya."

Setelah itu, amir pun mem- bebaskan Abu Ghayyats.

Demikian karakter dari orang yang sudah mereguk manisnya iman dan ikhlas. Ia tak bisa tinggal diam ketika kemungkaran dan ketimpangan sosial kerap terjadi di depannya. Menyangkut kebenaran dan kebajikan, diperjuangkannya dengan berani dan penuh percaya diri, sekalipun harus berhadapan dengan tembok kekuasaan.

Kadang kita optimistis dengan hadirnya tokoh ideal seperti ini. Namun, kita sering kecewa dengannya, karena begitu ia masuk dalam sistem, serta-merta hilang nyalinya. Benar kata Umar bin Khattab, "Siapa yang bersih niatnya dalam kebenaran, sekalipun menyangkut dirinya, maka Allah akan membereskan urusan antara dirinya dan manusia. Dan, siapa yang berhias diri dengan selain-Nya, maka Allah akan menyingkap aibnya."

(sumber:Republika, edisi Sabtu, 13 September 2014 Hal. 12 Oleh Makmun Nawawi)

Post a Comment

 
Top