Inilah kisah Aisyah r.a. tentang perkawinan pada masa jahiliyah. Menurutnya, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya, ada empat macam perkawinan pada masa kegelapan itu. Pertama, perkawinan seperti yang dilakukan pada masa sekarang: seorang meminang calon istrinya kepada walinya lalu memberi maharnya dan menikahinya. Kedua, nikah model istibda', yakni seseorang menyuruh istrinya berhubungan seks dengan laki-laki lain sampai bunting. Baru setelah itu, sang suami mau menggaulinya lagi, itu pun kalau ia mau. Tujuan dari model kedua ini adalah karena mereka ingin mendapatkan keturunan yang baik dari laki-laki lain.
Yang ketiga adalah model yang di awal tahun 1980-an sempat populer dengan sebutan 'salome' alias satu lobang rame-rame. Yaitu ketika sekelompok laki-laki, kurang dari 10 orang, rame-rame menggauli seorang perempuan. Jika si perempuan hamil dan melahirkan, semua laki-laki yang menggaulinya tadi dikumpulkan dan si perempuan memilih siapa yang paling pantas menjadi bapak si jabang bayi tanpa ada hak membantah.
Keempat, perkawinan yang oleh Aisyah disebut dengan model prostitusi. Para perempuan memasang bendera di depan pintu rumah sebagai tanda bisa dipakai. Jika ada laki-laki yang berminat dipersilakan masuk. Ketika ada yang hamil, laki-laki tadi berkumpul dan si perempuan menunjuk siapa yang harus menjadi bapaknya.
Memang dua dari kempat model di atas memberikan keleluasaan kepada perempuan untuk memilih, namun ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa kaum hawa ini memiliki kedudukan yang kuat di tengah masyarakatnya. Seperti yang ditulis oleh Ath-Thabari mengutip perkataan Ibn Abbas, jika seorang laki-laki meninggal maka ahli warisnya (anak laki-lakinya) berhak mewarsisi istri bapaknya dan mengawininya, atau menjadi tawanannya sehingga ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan maskawin yang pernah ia terima dari mendiang suaminya.
Dalam masyarakt seperti ini, kata An-Nadawi, tidak ada yang lebih jahat daripada kebaikan, dan tidak ada yang lebih baik daripad kejahatan. Atau kata orang Jawa, zaman edan, sing nggak edan nggak kaduman: zaman gila, yang tidak ikut gila tidak mendapat bagian apa pun.
Kita khawatir, jangan-jangan ini pula yang sedang berlangsung di masyarakat kita.
(sumber: Republika)
Post a Comment