Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kau lihat manusia masuk agama Allah berbondong-bondong, maka murnikanlah dalam memuji Tuhanmu dan berdoalah, dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima tobat. (Q. S. 110: 1-3).

Kala Umar bin Khattab ditetapkan sebagai khalifah, ia bukan bergembira ria, tapi merasa sedih sekali, karena di hadapannya terbayang suatu tanggungjawab yang begitu besar, yang akan dipikulnya, seperti yang kemudian kita baca dalam biografinya. Mungkin ia teringat pada surah pendek tadi.

Pada hari-hari tertentu dalam setahun, kita sering merasa bergembira mendapat kenikmatan berupa perayaan-perayaan yang sifatnya umum, seperti hari-hari raya keagamaan atau nasional. Atau secara pribadi kita merayakan suatu peristiwa, karena sudah merasa berhasil. Waktu itu kita lalu berpesta ria, berkumpul dengan kerabat atau handai tolan. Kadang hanya sampai di situ.

Dalam bahasa agama, ''Kemenangan adalah puncak kebaktian, bukan suatu kesempatan untuk bersukaria. Semua kemenangan datangnya karena pertolongan Allah juga,'' kata Abdullah Yusuf Ali dalam Tafsir-nya mengantarkan Surah Nasr di atas. Nabi SAW hijrah dari Mekah ke Madinah karena dikejar-kejar dan diganggu terus-menerus oleh kaum musyrik Quraisy. Di Madinah segenap kekuatan yang membela kebenaran dan keimanan berkumpul di sekitarnya. Segala usaha oleh orang-orang Mekah dan sekutu-sekutunya yang dikerahkan untuk menghancurkannya dan sahabat-sahabatnya, berbalik menghantam kepala mereka sendiri.

Tetapi apa yang terjadi setelah itu! Rasulullah dan sahabat-sahabatnya memasuki Mekah secara damai, berhala-berhala dihancurkan tanpa harus ada setitik darah yang menetes. Sebagai tanda syukur, semua musuh betapa pun kerasnya, dimaafkan. Seluruh kawasan negeri itu secara kolektif dan suka rela kini menyatakan setia kepadanya.

Pelajaran apa yang dapat kita tarik dari contoh kecil sejarah dunia ini? Bukanlah kebanggaan diri sebagai pribadi, melainkan perasaan rendah hati; yang akan dihadapinya bukan kekuasaan melainkan pengabdian; bukan mengutamakan kepentingan pribadi atau merasa bangga karena kemampuannya sendiri, melainkan suatu kesadaran batin, bahwa semua itu adalah karunia dan rahmat Allah, rasa syukur yang tak henti-hentinya kepada Allah, dalam kata dan perilaku.

Surah tadi merupakan teguran kepada Nabi, karena ketika itu seolah kaum Muslimin berpesta pora telah mendapat kemenangan, kebalikannya dari harus bersikap rendah hati di hadapan Allah, mengakui kelemahannya sebagai manusia dan mencari karunia-Nya; mengakui setiap keberhasilan yang diperolehnya dalam usahanya itu, bukan karena kemampuannya sendiri, melainkan karena karunia dan rahmat Allah juga.

Bagi Rasulullah SAW masih ada kewajiban lain yang menunggunya. Allah memerintahkannya agar berdoa memohonkan karunia dan pengampunan untuk umatnya itu, jika di antara mereka ada yang bergembira ria dalam menyambut kemenangan atau melakukan sesuatu yang tak seharusnya mereka lakukan.


(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/10/09/6495-kenikmatan-hari-raya-keagamaan)

Post a Comment

 
Top