Ibadah haji merupakan ibadah yang paling akhir diwajibkan oleh Allah swt setelah salat, zakat, dan puasa. Menurut jumhur ulama, haji diwajibkan oleh Allah pada tahun ke-9 Hijriah. Pada tahun ini, kaum muslimin untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji dengan Abu Bakar Siddik bertindak sebagai Amir al-Haj. Rasulullah saw sendiri melakukannya pada tahun berikutnya. (Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, 2/220).


Berbeda dengan ibadah-ibadah lain dalam Islam, ibadah haji memerlukan dan melibatkan banyak aspek, fisik, mental, maupun material. Tanpa terpenuhinya tiga aspek tersebut, agak sulit atau bahkan tak mungkin seorang dapat menunaikan ibadah haji dengan baik dan sempurna. (Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din).

Ibadah haji, seperti halnya semua ibadah dalam Islam, mengandung ajaran moral yang amat tinggi dan luhur. Dengan ibadah haji, tulis Sa'id Hawwa dalam kitab Al-Islam, seorang dapat belajar tentang banyak hal, terutama tentang persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyah), persamaan manusia (al-musawah), dan persatuan umat. Dengan haji pula, seorang dapat belajar tentang perjuangan, kesabaran, kesediaan untuk bekorban tanpa pamrih, toleransi dan kepedulian terhadap sesama.

Dalam Alquran, kepada setiap pelaku ibadah haji, Allah SWT berpesan: ''Barangsiapa menetapkan niatnya untuk mengerjakan haji pada bulan itu, maka ia tak boleh rafats, fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa melaksanakan haji.'' (Al-Baqarah, 197).

Menurut pendapat banyak mufassir, setiap pelaku ibadah haji, berdasarkan ayat di atas, dilarang keras melakukan tiga hal. Pertama, mengeluarkan perkataan yang keji dan kotor atau perkataan tak senonoh yang mengundang birahi (rafats). Kedua, melakukan kejahatan dan berbagai tindakan yang menentang dan melawan hukum-hukum Allah (fusuq). Ketiga, menciptakan permusuhan di antara sesama manusia dengan membanggakan diri dan merendahkan orang lain (jidal).

Menurut imam al-Ghazali, makna terpenting dari larangan yang terkandung dalam ayat di atas, ialah terwujudnya kualitas-kualitas moral (Akhlak al-Karimah) bagi para pelaku ibadah haji itu.

Kualitas moral ini tidak saja harus dijaga pada waktu menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, tetapi juga harus diupayakan untuk tetap terwujud dan aktual pada saat ia kembali ke Tanah Air dan kampung halamannya. Adanya peningkatan moral ini disebut oleh Nabi saw sebagai pertanda dari ibadah haji yang makbul dan mabrur.

Allah swt menjanjikan pengampunan dan sorga bagi para pelaku ibadah haji, yaitu orang-orang yang dengan ibadah haji yang dilakukan membuat mereka menjadi manusia-manusia yang berakhlak mulia dan berbudi luhur. Sabda Nabi, ''Barangsiapa menunaikan ibadah haji, dan ia tak berbuat rafats dan fasik, maka ia kembali (suci dan bersih) seperti anak manusia yang baru lahir dari perut ibunya.''


(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/11/22/15608-haji-dan-pendidikan-moral)

Post a Comment

 
Top