Tawajjud berarti menghadap, mengarahkan atau memperuntukkan segala sesuatu kita kepada Allah. Dalam bertawajjud, kita harus membulatkan hati, menyerahkan diri, jiwa, raga, dan seluruh aktifitas semata-mata hanya untuk Allah. Dalam setiap salat pun, kita pasti berjanji kepada Allah, ''Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.'' Sikap ini sebagai cermin dan konsekuensi logis dari pengakuan iman atau syahadat kita. Tawajjud menghendaki agar kita bersikap ikhlas dalam setiap perbuatan. Dalam Islam, ikhlas adalah ruh amal seorang mukmin. Karena itu, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah. Dalam Alquran, Allah menegaskan, ''Dan tiada diperintahkan mereka, melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah seraya mengikhlaskan taatnya kepada Allah, lagi condong kepada kebenaran.'' (Q.S. 98:5). Nabi Muhammad dalam hadis yang dirawikan Ibnu Majah menyebutkan bahwa Allah tidak menerima amalan, kecuali amalan yang ikhlas dan yang hanya untuk mencari keridhaan Allah SWT.

Menurut mantan rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Dr. Abdul Halim Mahmud, apabila kita mengikhlaskan diri dalam pengabdian hidup ini hanya untuk Allah, maka insya Allah kita akan mampu berjalan di lorong-lorong yang menunju pintu-pintu Allah. Kita akan mendapatkan ilmu makrifah dari Allah. Dan bahkan, Allah juga tidak akan menjadikan jalan bagi setan sampai kepada-Nya. Dalam Q.S. 38:82-3, Allah berfirman, ''Iblis menjawab, 'Demi kekuasan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.'' Untuk itu, Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Khuluqul Muslim mengatakan, kalau kita berjiwa ikhlas, maka kita akan terhindar dari hawa nafsu yang buruk, dan bebas dari kekeliruan dan kesalahan. Karena ikhlas mampu menyinari jiwa lebih terang daripada kesulitan-kesulitan yang menyempitkan. Kita pun bisa tenang berdiri di hadapan Allah.

Ikhlas membuat keadaan selalu segar dalam jiwa kita. Ikhlas menuntut agar kita mengetahui dan memperhitungkan sesuatu yang kita kerja dengan baik. Ketika kita susah atau pun senang. Ikhlas menuntun kita hidup damai, tenteram, dan aman. Namun, kata Al-Ghazali, ikhlas bisa hilang dari dalam jiwa kita, apabila kita menaruh sikap egois, senang kepada sanjungan orang lain, senang mengejar-ngejar pangkat dan pengaruh luas, dan senang kepada kebanggaan yang bisa menjerumuskan kita ke jalur jalan yang sesat. Jika keikhlasan dalam jiwa telah dikotori oleh sikap dan sifat jahat, maka amal kita rusak dan kita akan jauh dari keridhaan Allah. ''Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Alquran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya.'' (Q.S. 39:2). Ikhlas bagaikan buah yang matang mulus. Untuk memelihara keselamatan buah itu, agar tetap mulus, bersih, dan manis, maka kita harus merawat dan memeliharanya dengan baik agar bebas dari hama dan kelayuan daunnya. Demikian juga, kita harus memelihara ikhlas dalam jiwa kita dari gangguan hama riya', yang bisa merusak amal kita. Agar hidup kita pun di dunia ini jadi sia-sia.


(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/11/18/14557-tawajjud)

Post a Comment

 
Top