Keluarga adalah institusi suci yang keberadaannya bersamaan dengan penciptaan manusia sejak Nabi Adam (QS An-Nisaa: 1).

Islam menata kehidupan keluarga dengan tuntunan syariat dan akhlak mulia sehingga tidak setiap laki-laki boleh menikah dengan setiap wanita. Islam menganjurkan perkawinan sebagai sunah para nabi dan melarang segala bentuk hubungan seksual di luar nikah, baik sebelum maupun hubungan di luar perkawinan yang sah.

Paradigma hak asasi manusia (HAM) yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa laki-laki dan wanita yang sudah dewasa tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan, dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga, mendapat koreksi dalam Islam.

Dalam syariat Islam, tidak ada pembatasan karena suku dan kebangsaan, tetapi ada pembatasan karena perbedaan agama. Di samping itu, Islam juga melarang perkawinan pasangan sejenis, seperti perkawinan gay yang kini dilegalkan di beberapa negara Barat dengan dalih hak asasi manusia.

Dr Khursid Ahmad dalam Family Life in Islam (1974) menyatakan, “Landasan berpijak bangunan keluarga menurut Islam adalah keimanan. Seorang Muslim tak diperkenankan untuk mengawini seorang nonMuslim. Perkawinan hendaklah dijalani antara pasangan yang mempunyai kebersamaan di dalam memandang hidup serta moralitas. Mereka yang menjalani hidupnya guna menggenapkan kehendak Allah. Keimanan memainkan peran penentu dalam keseluruhan sistem hu bungan keluarga.”

Alquran Surah Ar-Ruum ayat 21 dan At-Tahrim ayat 6 menjelaskan tujuan perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Hal itu tak mungkin diwujudkan dalam keluarga yang tidak seiman antara suami, istri, dan anak-anak. Oleh karena itu, perkawinan beda agama tidak direstui dalam Islam (QS Al-Baqarah: 221).

Hukum perkawinan di Indonesia berdasar pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menekankan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya itu. Mengapa Islam mengharamkan seorang wanita Muslimah dinikahi oleh pria lain agama, pasti mengandung hikmah yang besar.

Dari sisi psikologi perkawinan, tokoh pendiri Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4), HSM Nasaruddin Latif, mengatakan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri, perkawinan campuran berbeda agama memiliki chance (kesempatan) kegagalan lebih besar dibandingkan perkawinan pasangan dalam satu kepercayaan (agama).

Mungkinkah kebahagiaan dunia akhirat bisa diperoleh seutuhnya andaikata dalam satu keluarga, ibu atau ayah beragama Islam, suami atau istri beragama lain, sementara anak-anak diberi kebebasan untuk memilih agama? Prinsip Alquran, yaitu lakum diinukum waliya diin, penerapannya bukan untuk kehidupan keluarga. Prinsip ‘bagimu agamamu dan bagiku agama ku’ itu dasar untuk mewujudkan toleransi beragama yang penuh kedamaian di tengah masyarakat. Wallahu a’lam. ■


(sumber: Republika edisi : Senin, 18 Juni 2012 hal. 01 Oleh M Fuad Nasar)

Post a Comment

 
Top