Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta, calon gubernur dan wakil gubernur (cagub-cawagub) biasa menebar janji guna meraih simpati. Janji seakan menjadi satu-satunya cara efektif untuk memengaruhi masyarakat yang ditemui. Seakan butuh janji-janji itu, rakyat pun akan memilihnya. Namun, ketika cagub-cawagub terpilih acap kali janji itu terlupakan.
Akhirnya, janji tinggal janji.
Janji yang ditebar, antara lain, memberantas korupsi, menegakkan hukum dengan seadil-adilnya, pendidikan gratis, sembako murah, kesehatan gratis, penyediaan ribuan lapangan kerja, penanggulangan banjir, dan mengurai kemacetan. Dalam Islam, janji merupakan bagian dari identitas keimanan. Setiap orang beriman dipe rintahkan untuk memenuhi janji yang dibuatnya. (QS al-Maidah [5]: 1).

Dikemukakan bahwa indikator utama orang mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan adalah mereka yang suka memenuhi amanah dan janjijanjinya. “Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang beriman, dan orangorang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.“ (QS al-Mukminun [23]: 1 dan 8).

Sebaliknya, orang yang selalu mengingkari janjinya dapat dikategorikan sebagai munafik. Ciri-ciri orang munafik ada tiga macam, sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. “Jika berbicara selalu berdusta, jika berjanji selalu ingkar, dan jika dipercaya selalu berkhianat.“ (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain, Abdullah bin Umar berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Ada empat dosa sifat yang jika seseorang memperlihatkan semua cirinya, dia sepenuhnya orang munafik. Jika dia punya salah satu ciri, dia dianggap memiliki unsur-unsur seorang munafik. Ciri-ciri itu adalah berkhianat, berdusta, ingkar janji, dan memaki lawan jika ada perbedaan pendapat.“ (HR Bukhari).

Janji adalah utang (al-wa'du dainun). Orang yang dibebani utang akan merasa hilang kebebasan yang dimilikinya. Dia akan selalu dibelenggu sebuah tuntutan untuk melunasi utang tersebut. Rasulullah SAW mengingatkan, “Hati-hati dengan utang, sesungguhnya berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri (kehinaan) di siang hari.“ (HR Ahmad).

Karena itu, masyarakat berharap agar kampanye yang digelar tidak dijadikan sebagai media untuk mengumbar janji yang mendorong kesombongan dan membanggakan kelompoknya yang paling benar dan baik sehingga layak untuk dipilih.

Jika ini yang terjadi, akan lahir para pemimpin yang hanya pandai berjanji dan berbohong. Sedangkan dia sendiri sama sekali tidak berpikir, apalagi berbuat untuk kepentingan bangsa dan masyarakat yang dipimpinnya.

Berhati-hatilah dalam berjanji, sebab setiap ucapan (janji) yang diucapkan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan manusia dan di hadapan Allah SWT kelak di hari kemudian. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.“ (QS Qaf [50] : 18). Wallahu a'lam.
(sumber: Republika edisi : Jumat, 29 Juni 2012 hal. 01 Oleh Imam Nur Suharno)

Post a Comment

 
Top