Merdeka atau kemerdekaan sejatinya bukan hanya hak, melainkan kewajiban (al-dharuriyah). Dengan, manusia sebagai individu maupun bangsa memperoleh kesejatiannya dalam hidup. Tanpa kemerdekaan, manusia sama dengan mati. Meski bisa makan-minum dan berjalan di muka bumi, ia hanya seperti binatang melata.

Dalam Islam kemerdekaan itu bukan berarti bebas tanpa terikat. Secara umum kebebasan manusia dibatasi dan terikat oleh kepentingan (kemaslahatan) diri dan orang lain. Lebih khusus, ada beberapa prinsip yang membatasi kebebasan manusia. Pertama, komitmen dan tanggung jawab. Setiap tindakan manusia harus dilakukan dengan motif kebaikan disertai sikap penuh rasa tanggung jawab. Dalam hal ini, kita bisa mengatakan, "Tak ada kebebasan tanpa tanggung jawab dan tidak ada tanggung jawab tanpa didasari oleh sebuah prinsip kebebasan."

Kedua, kebaikan dan kemaslahatan (mashalih). Prinsip ini menyatakan, apa yang kita lakukan tidak boleh membawa madharat (kerugian) bagi diri dan orang lain. Jangankan tindakan yang berdampak sosial, makan dan minum saja bila membuat bahaya (madharat) bagi orang lain, haram hukumnya. Kata Nabi, "La dharara wa dhirara" (Tak boleh ada bahaya [bagi kita] dan tidak boleh membuat bahaya orang lain). (HR Malik dari Yahya al-Mazani).

Ketiga, keadilan (al-`adalah). Prinsip ini menyatakan, tindakan manusia tidak boleh ekstrem, tetapi harus moderat, yaitu sikap pertengahan (wasathiyyah) dalam arti memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban, kepentingan diri dan orang lain, serta dalam konteks lebih luas, keseimbangan alam sebagai makro maupun mikro kosmos. Dengan prinsip ini, tidak boleh perbuatan zalim atau tindakan sewenang-wenang dilakukan atas nama kebebasan.

Dilihat dari sudut pandang Islam, kemerdekaan itu memiliki pijakan dasarnya yang amat kuat pada ajaran tauhid. Menurut Ustaz Sayyid Quthub, tauhid merupakan deklarasi umum (i'lan'am) bagi pembebasan manusia dari perbudakan oleh manusia atas manusia yang lain, juga pembebasan dari segala bentuk penindasan dan tirani.

Sesuai formula tauhid [la ilaha illa Allah], ajaran tauhid itu mula-mula membawa makna desakralisasi (al-nafyu), yaitu penegasian terhadap segala sesuatu yang disucikan atau dipertuhankan oleh manusia selain Allah. Dengan desakralisasi, seorang Muslim membebaskan diri dari semua belenggu perbudakan, termasuk perbudakan oleh nafsu diri sendiri.

Berikutnya, ajaran tauhid bermakna, afirmasi (al-Itsbat), yaitu peneguhan dan pengokohan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dengan afirmasi, seorang Muslim tidak bisa dan hanya menyatakan tunduk kepada Allah SWT. Perhatikan firman Allah, "Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 256).

Terakhir, tauhid juga membawa efek pembebasan secara sosial. Orang yang ber tauhid, ia pasti menolak otoritari anisme dan segala bentuk tirani dan kesewenang-wenangan. Hal ini ka rena tirani (thugh yan, pelakunya dinamai thaghut) bukan hanya bermakna pelanggaran moral, melainkan sesuatu yang secara diamiteral bertentangan dengan doktrin tauhid. Wallahu a'lam!
 
(sumber:Republika, edisi Selasa, 19 Agustus 2014 Hal. 21 Oleh A Ilyas Ismail)

Post a Comment

 
Top