Imam Thawus bin Kaisan, ulama Yaman, pernah melihat Ali Zainal Abidin cucu Ali bin Abi Thalib RA berdiri di bawah naungan Ka'bah, sedang meratap, bermunajat, dan berdoa sambil menangis.
Thawus bertanya, "Wahai cucu Rasulullah SAW, kulihat Anda dalam keadaan demikian, padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya kira bisa mengamankan Anda dari rasa takut."
Ali Zainal Abidin berkata, "Apakah itu wahai Thawus?" Thawus menjawab, "Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah SAW. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah bagi Anda."
Zainal Abidin berkata, "Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah: "... kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu ..." (QS al-Mu'minun: 101).
Ia lalu melanjutkan, "Adapun tentang syafaat kakekku, Allah SWT telah menurunkan firman-Nya: "Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah." (QS al-Anbiya: 28). Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya dalam QS al-A'raf: 56.
Ali Zainal Abidin adalah seorang yang dermawan, penyabar, rendah hati, santun dalam berbicara, dan memiliki hati yang bersih. Kemuliaan nasab tidak menjadikannya sombong dan tidak merasa aman dari azab, bahkan ia sering berdoa sambil menangis memohon ampunan dari Allah.
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mem percepatnya." (HR Muslim dan lainnya). Imam Nawawi RA berkata, "Barang siapa yang kurang amalnya, maka tidaklah bisa mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Sudah seharusnya seseorang tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan keutamaan nenek moyangnya, yang menyebabkan ia tidak banyak beramal." (Syarah Shahih Muslim).
Ali Zainal Abidin RA sangat mencintai sahabat-sahabat Rasul SAW. "Beliau kedatangan tamu dari Irak, lalu mereka menjelekkan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Ketika selesai bicara, beliau bertanya,
"Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang Allah firmankan dalam surah al-Hasyr, "Mereka yang diusir dari kampung halaman dan di paksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang yang benar. Apakah kalian termasuk mereka?" Mereka menjawab, "Bukan..."
"Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran surah al-Hasyr, `Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin.
Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan hati mereka tidak iri terhadap apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin. Bahkan, mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri sendiri, kendatipun mereka berada dalam kesusahan?"
"Bukan ...!" jawab mereka. Lalu beliau berkata, "Kalian sudah mengakui bukan termasuk ke dalam salah satu dari kedua golongan tadi. Aku bersaksi bahwa kalian pasti bukanlah orang yang dimaksud dalam QS al-Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari rumahku, semoga Allah membalas keburukan kalian." (Shifatu Ash Shafwah, juz 1 hlm 387).
(sumber:Republika, edisi Rabu, 23 Juli 2014 Hal. 01 Oleh Fariq Gasim Anuz)
Post a Comment