Berbagai peristiwa dan kejadian yang di abadikan menjadi bagian utama dari rukun, wajib, dan sunah dalam ibadah haji. Rangkaian ibadah, seperti wukuf di Padang Arafah, mabit, dan melempar jumrah di Mina menjadi catatan ibadah kita kepada Allah SWT sekaligus mengikuti sunah Rasulullah SAW yang kita dengar dan patuhi. Termasuk, penyembelihan hewan kurban.

Rangkaian itu merupakan sebuah proses pembelajaran dari sebuah keluarga yang mengedepankan kasih sayang, cinta, tanggung jawab, saling menghargai, mengedepankan musyawarah, dan sangat demokratis. Itulah keluarga Nabiyullah Ibrahim AS dengan istrinya, Siti Hajar dan Siti Sarah, beserta putranya, Nabiyullah Ismail AS dan Nabiyullah Ishak AS.

Mereka adalah tipologi keluarga bahagia, sakinah mawaddah warahmah, dan keluarga panutan umat manusia secara universal. Ketika Nabi Ibrahim AS mendapat perintah dari Allah SWT melalui mimpinya untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, ia tidak langsung melaksanakan perintah Allah tersebut meski yakin akan kebenaran dan kemutlakan perintah Allah SWT.

Nabi Ibrahim malah terlebih dahulu meminta saran dan pendapat anaknya, Ismail AS. Sang anak yang sudah terdidik dengan baik oleh kedua orang tuanya benar-benar yakin bahwa apa yang disampaikan oleh orang tuanya benar dan mutlak harus dilaksanakan. Ia langsung merespons dengan menyatakan, "Yaa abati if'al. Maa tuumaru, satajidunii insyaa Allah minash shabirin."
(Wahai Bapakku, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan mendapatkanku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar) (QS Ashshaffat [37]: 102).

Itulah demokrasi dan musyawarah yang dibingkai dengan akhlak dan dibingkai pula dengan nilai-nilai moral, seperti kejujuran, kasih sayang, tanggung jawab, serta saling menghargai dan mencintai. Itu semua dimulai dengan proses demokratisasi dalam keluarga, hubungan suami dengan istri, orang tua dengan anak. Apalagi, semuanya dilandasi dengan keimanan dan ketauhidan yang kuat kepada Allah SWT.

Jika demokrasi dan syuro ini berjalan atas norma agama yang kuat, hasilnya kebaikan bagi kepentingan bersama. Tetapi jika lepas dari norma dan nilai, demokrasi hanya berdasarkan suara terbanyak, bukan kebenaran yang hakiki yang bersumber dari ajaran Allah SWT. Sehingga, hasilnya sering menyimpang dan bahkan merusak kepentingan serta kemaslahatan bersama.

Di tengah-tengah keinginan yang luar biasa dari masyarakat dan bangsa kita untuk melaksanakan demokratisasi dalam segala bidang kehidupan, belajar cara berdemokrasi yang benar dan maslahat dari keluarga Nabi yullah Ibrahim AS merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan. Wallahu `alam bish shawab.

(sumber:Republika, edisi Selasa, 30 September 2014 Hal. 26  Oleh KH Didin Hafidhuddin)

Post a Comment

 
Top