Tengoklah dengan hati yang paling bening, sesungguhnya banyak di antara kita masih miskin cinta. Uluran pengemis yang ditepis, para pemimpin umat saling menyeteru, dan orang-orang kaya harta yang miskin cinta. Dada tempat bersemayamnya mahabbah telah menipis diganti angkara dunia. Gunjingan dan gosip menjadi nyanyian sehari-hari. Mereka tidak sadar betapa Allah telah berfirman bahwa bagi orang-orang yang menggunjing dan memfitnah itu, diibaratkan bagaikan manusia yang memakan bangkai sesama saudaranya sendiri.

Ini semua terjadi karena di antara kita bisa jadi sudah kehilangan nuansa cinta, dan sebaliknya sarat dengan muatan keserakahan, persaingan, dan memandang manusia dari kacamata materi, untung dan rugi belaka. Dia santuni dan mencoba ingin akrab dengan manusia yang mempunyai kekuasaan. Sopan dan simpatik penampilannya, tetapi hanya sekadar untuk mendapatkan cipratan materi. Dan berubah wajahnya ketika dia berhadapan dengan orang yang lemah (mustad'afin) dan memalingkan muka dari penderitaan orang-orang miskin.

Sungguh, saat ini kita membutuhkan para pemimpin yang mempunyai wibawa cinta. Dia menampakkan wajahnya yang teduh dengan senyuman di bibir, bukan wajah yang sinis mencibir. Seharusnya dia sadar bahwa dirinya menjadi pemimpin karena adanya orang-orang yang dipimpinnya. Dia lupa bahwa menjadi pemimpin itu adalah menjadi pelayan umat.

Simak dan resapkanlah perilaku akhlakul karimah Nabi Muhammad saw dengan sahabat dan umatnya yang bagaikan cahaya mentari. Perilaku akhlakul karimah beliau itu telah menyentuh nurani umat manusia, menggubah peradaban yang gelap menjadi terang, dan meninggalkan pesan-pesan kepada kita untuk menampilkan diri sebagai umat yang santun, berakhlak, dan saling mencintai penuh kedamaian.

Pada saat Nabi saw meluruskan barisan dalam perang Badar, tanpa sengaja beliau memukul perut Sawad bin Ghazyah dengan anak panahnya. Sawad memprotes, ''Ya Rasulullah, dadaku sakit karena pukulanmu. Aku ingin menuntut qishash''. Mendengar ucapan Sawad, para sahabat marah seraya berkata, ''Betapa teganya engkau menuntut qishah kepada Rosulullah''.

Namun dengan tersenyum, Rasulullah menjawab, ''Biarkan dia menuntut haknya.'' Nabi saw menyingkapkan pakaiannya, dan tampaklah dadanya yang bidang dan putih itu, seraya bersabda, ''Balaslah!''. Tetapi Sawad bukannya memukul, melainkan menubruk dada Rasulullah dan kemudian menciumnya dengan penuh hikmat, seraya berkata, ''Betapa mungkin hamba membalasmu Ya Rasulullah. Sesungguhnya hamba sudah lama merindu mencium dadamu. Selama ini mencari kesempatan agar kulit hamba yang kasar ini dapat menyentuh kulitmu, berilah hamba syafaatmu ya Rasulullah.'' Dan kemudian Nabi mendoakannya. Rasulullah memimpin dengan cinta, dan merasa terhimpit jiwanya melihat penderitaan orang lain yang mengharapkan uluran tangan dan pantulan cinta yang ikhlas dari sesamanya.

(sumber:Republika.co.id)

Post a Comment

 
Top