"Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang akan ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya". (Q.S. Ali Imran : 161)Akhir-akhir ini masyarakat membicarakan uang yang diberikan kepada pegawai negeri di luar gaji resmi, atau lebih sering disebut dengan gratifikasi. Dalam undang-undang negara pegawai yang menerima gratifikasi dinyatakan bersalah dan dikategorikan menerima suap kecuali kalau dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini?
Pengertian Hadiah Pegawai (Gratifikasi)
Hadiah Pegawai atau sering disebut dengan Gratifikasi adalah uang hadiah yang diberikan kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan, gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitasn penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Hukum Hadiah Pegawai (Gratifikasi)
Hadiah Pegawai (Gratifikasi) hukumnya haram berdasarkan hadits Abu Humaid as-Sa'idi di bawah ini : Dari Abu Humaid as-Sa'idi ra berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari sukul al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketida datang dari tugasnya, dia berkata : "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangannya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata) : "Ya Allah bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali." (H.R. Bukhari Muslim)
Berkata Ibnu Abdur Barr : "Hadits di atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul (barang curian dari harta rampasan perang) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah `azza wa jalla : "Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu" (Q.S. Ali Imraan : 161)
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadits Abu Humaid as-Sa'idi di atas menunjukkan bahwa hadiah pegawai, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada pegawai tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia cenderungan kepadanya ketika dalam persidangan."
Yang termasuk dalam larangan hadits di atas :
Pertama : Seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telepon yang terputus atau mengalami gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia mengambil atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Kedua : Seorang pegawai Departemen Agama yang ditugakan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama'ah haji selama di Mekah dan Madinah. Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dengan tujuan akan mendapatkan uang diskon dari penyewaan tersebut yang akan masuk ke kantong pribadinya, karena hal ini akan merugikan jama'ah haji secara umum. Akibat ulah petugas tadi, jama'ah haji tersebut terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak standar dan jauh dari Masjidil Haram.
Ketiga : Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing qurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil uang diskon dari pembelian tersebutj, kecuali harus melaporkan kepada pengurus secara transparan.
Keempat : Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil uang tambahan dari pembayaran zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut, kecuali dia melaporkan kepada lembaga tersebut bahwa dia diberi uang tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan umat atau diberikan kepada petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan dalam lembaga tersebut.
Kelima : Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan mempengaruhi di dalam keputusan hukum.
Keenam : Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para pembayar pajak, karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di dalam menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya.
Dampak Negatif dari Hadiah Pegawai
Hadiah pegawai (gratifikasi) ini akan merusak tatanan negara secara keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci sebagai berikut :
Sang pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
Sang pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri. Hal seperti ini akan menyebabkan perusahaan rugi. Apalagi banyak konsumen yang komplain akibat ulahnya yang malas-malas dalam bekerja ketika konsumen tidak memberikan kepadanya hadiah.
Sang pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, harena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.
Islam juga mengharamkan umatnya untuk meminta-minta kecuali dalam keadaan darurat. Pegawai yang meminta hadiah dari konsumen yang sebenarnya bukan haknya termasuk dalam kategori meminta-minta yang dilarang dalam Islam.
Menurut hemat penulis, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang.
Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadi lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Wallahu A'lam.
(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.42 Thn.XLI, 22 Dzhulhijjah 1435 H/ 17 Oktober 2014 M Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, MA)
Post a Comment