Proyek Rekayasa
Sesudah berhasil membunuh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, Yigal Amir berlindung dari tuduhan bertindak keji dengan seuntai kalimat sakral: ''Saya membunuh atas perintah Tuhan.'' Kita ngeri membayangkan dampak buruknya apabila perkataan serupa itu diumbar begitu saja tanpa dasar atau logika, dan dipercaya. Bahkan terkadang, oleh sang pembicara yang kebetulan berkuasa, dipaksakan sedemikian rupa untuk diterima walaupun bertentangan dengan fakta.
Dulu, rakyat amat benci terhadap persekongkolan antara pejabat dan pengusaha yang kala itu disebut TST (Tahu Sama Tahu). Tapi sejak istilahnya diganti dengan kolusi, kebencian itu makin pudar. Seolah kolusi adalah profesi sampingan pejabat dan sedekah pengusaha agar sama-sama berkah. Maka tak heran, proyek kolusi pun dibuka dengan doa ulama, malah tak jarang dilengkapi gelar tablig akbar dengan pembicara para mubalig kondang sejagat.
Dulu, orang jijik terhadap perbuatan zina, terutama kepada profesi yang sekarang disebut wanita penghibur. Sebab waktu itu, wanita yang menggeluti profesi tersebut dinamakan lonte atau pelacur. Kemudian perkembangan zaman mulai permisif, mungkin lantaran ekonomi kian sulit, sehingga istilah pelacur, apalagi lonte, dibudipekertikan menjadi WTS, wanita tuna susila, seolah-olah sejajar dengan tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, dan sebagainya. Itu takdir Tuhan, seakan-akan begitu. Apakah jika keadaan ini dibiarkan berlanjut tidak akan mengancam benteng moral generasi mendatang?
Saya kok curiga, kekejaman dan keberingasan yang melanda seluruh pelosok dunia, termasuk di Tanah Air kita, dengan makin marak dan tidak anehnya lagi pembunuhan ketika diberitakan, dengan makin umumnya kejahatan disertai perkosaan terhadap korban, dan sebagainya dan seterusnya, merupakan isyarat makin sirnanya rasa cinta dari hati manusia. Atau paling tidak, cinta sudah turun derajat menjadi benda tak berharga, hingga bisa dijual para penjaja asmara.
Malangnya, upaya perbaikan baru terbatas pada rekayasa dan basabasi. Sehingga yang paling dahsyat berkecamuk adalah perlombaan merias kata-kata dengan madu dan bunga. Tukang obat, penjual jamu, pedagang kaki lima, penceramah, pemakalah, sastrawan, penyair, bahkan wakil rakyat dan menteri, semua harus pandai mengemas dagangan mereka dengan kata-kata sebelum membungkusnya dengan tas plastik. Terutama di masa-masa kampanye sebentar nanti, tatkala para kontestan pemilu mengumbar sumpah dan janji. Yang enak-enak pada golongan sendiri keluar semua dengan amat menarik.
Sementara yang buruk-buruk pada golongan lawan berhamburan semua dengan tuduhan yang menjijikkan. Tapi jika kita kembali kepada peraturan perundangan untuk ditaati, tak satu pun kontestan yang tega mengobral sumpah dan janji tanpa bukti. Sebab pemilu sebagai pesta demokrasi ialah pendadaran program dan ide, bukan perang anggaran dasar dan ideologi.
Itulah agaknya yang dikehendaki Allah lewat firman-Nya dalam surah Ibrahim ayat 24. Isinya antara lain menegaskan bahwa perkataan yang baik itu ibarat pohon yang kokoh, dengan akar menghunjam ke tanah dan dahan menjangkau ke langit. Sedangkan perkataan yang buruk tak ubahnya pohon yang rapuh, tidak kuat menahan pokok.
(sumber:republika.co.id)
Post a Comment