Kehidupan sufi tidaklah seperti yang dibayangkan orang selama ini; di ruang gua yang sempit di tengah hutan atau di puncak menara. Stigma mementingkan kesalehan pribadi dan mengabaikan kesalehan sosial yang selalu dilekatkan pada ajaran spiritual ini mungkin perlu ditelaah ulang. Jika kita mau merunut akar sejarah sufi hingga zaman sahabat Nabi, justru kita akan menemukan pribadi-pribadi yang sangat membenci dan menentang terjadinya ketimpangan sosial.
Abu Dzarr al-Ghifari adalah tokoh sufi yang sangat disegani di kalangan sahabat. Meskipun enggan dengan kekayaan, ia sangat memikirkan kesejahteraan rakyat. Beliau tidak henti-hentinya menyuarakan pemerataan ekonomi di masyarakat. Ia tidak rela melihat ketimpangan dan gap yang curam antara si miskin dan si kaya. Ia berteriak dari Syiria hingga ke pusat pemerintahan Islam di Madinah agar si kaya tidak menumpuk kekayaan pribadi.
"Wahai orang-orang kaya, bantulah yang miskin. Orang-orang yang menumpuk kekayaan dan tidak mendermakannya di jalan Allah, akan dipanggang di neraka." Kalimat itu seringkali diteriakkan oleh Abu Dzarr di Syiria, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Serentak, rakyat kecil yang berekonomi lemah menjadi pendukung Abu Dzarr. Mereka meneriakkan kalimat yang sama di seluruh penjuru Syiria mirip orasi massif kaum proletar dalam pergulatan sosialisme modern.
Orang-orang kaya merasa terganggu dengan "kritik" tajam Abu Dzarr tersebut, hampir mirip barangkali dengan kondisi para borjuis di masa Perang Dingin yang sangat risih dengan ide sosialisme. Mereka mengadu kepada pemerintah Syiria. Mu`awiyah, yang saat itu menjabat Gubernur Syiria, segera mengirim Abu Dzarr ke Khalifah Ustman di Madinah.
Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr mempertegas pandangannya bahwa orang-orang kaya tidak semestinya menumpuk harta. Ia kemudian membaca firman Allah dalam Surah at-Taubah bahwa orang-orang yang menumpuk emas-perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah, mereka akan mendapat siksa yang pedih dan dipanggang di neraka.
Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr didebat oleh Ubay bin Ka`b. Ia bilang: "Tidak masalah, orang kaya menyimpan harta, asal ia memenuhi kewajiban yang terkait dengan kekayaannya itu". Abu Dzarr berang. Beliau tak bersikeras dengan pandangannya. "Aku tidak rela dengan orang-orang kaya, sehingga mereka membagikan hartanya dan berbuat baik kepada orang di sekelilingnya ….," tegasnya kepada Khalifah.
Abu Dzarr dengan segala kesufiannya memiliki kepekaan sosial yang begitu tinggi terhadap kondisi masyarakat di sekelilingnya. Ia hidup berzuhud, tidak suka harta, tapi memiliki gagasan yang revolusioner mengenai kesejahteraan.
Dengan gagasannya itu, Abu Dzarr dianggap sebagai simbol pembela orang-orang kecil yang proletar. Ide sosialisme Islam semacam Abu Dzarr inilah yang kemudian diusung oleh kelompok Islam sosialis Indonesia beberapa dekade setelah kemerdekaan. Beberapa tokoh Muslim sosialis meneriakkan pembelaan terhadap rakyat kecil dengan menggunakan kata mustadl`afin, sebuah term yang akrab sekali dengan pembelaan Alquran terhadap Muslimin yang tertindas di Mekkah. Mereka menemukan akarnya dalam Islam dan menjadikannya dasar atas kecenderungan mereka yang memihak terhadap paham sosialisme yang diadopsi dari Eropa pada masa Perang Dingin.
Meski sama-sama pembelaan terhadap rakyat jelata, ide dan semangat Abu Dzarr sangat berbeda dengan sosialisme modern. Abu Dzarr tidak mendasarkan paham ekonominya sebagai gerakan politik. Beliau tidak memiliki kepentingan dan tendensi apa pun dengan pahamnya itu.
Meskipun ada yang menengarai bahwa beliau dipengaruhi oleh Abdullah bin Saba', politisi pengacau pada masa pemerintahan Utsman. Bahkan, adapula yang berupaya mengaitkan paham Abu Dzarr dengan paham sosialisme ekstrim Mazdak di Persia, yang menyatakan bahwa harta dan wanita adalah aset umum yang tidak bisa menjadi milik pribadi. Namun menurut saya ini terlalu berlebihan.
Abu Dzarr tidak dipengaruhi oleh siapa pun. Beliau membenci penimbunan kekayaan semenjak awal masuk Islam. Dan, pandangan itu terus beliau pegang sampai dijemput ajal sendirian di Rabdzah, sebuah pelosok di timur Madinah.
Sebagai sufi yang tak memiliki kecintaan apapun terhadap harta, Abu Dzarr sangat risih dengan watak serba materialistik pada saat itu. Bukan karena sentimen terhadap orang-orang kaya, tapi berjuang menghadang watak rakus yang menjalar dengan sangat cepat dan mengakar di tengah-tengah masyarakat. Fokus Abu Dzarr bukan mengubah orang miskin menjadi kaya, tapi mengubah watak orang-orang kaya agar tidak rakus, tertumpu pada materi dan gila harta. Ketimpangan sosial di sekitarnya ia jadikan sebagai sarana untuk mengubah moralitas orang-orang kaya agar mau berbagi, tidak menumpuk kekayaan dan tidak "mempertuhankan" materi.
Abu Dzarr memberikan warna yang unik dalam tasawuf dan paham kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi beliau suka hidup miskin, di sisi lain beliau meneriakkan pemerataan ekonomi dan mengecam orang-orang kaya.
Protesnya terhadap orang-orang kaya, bukan karena dirinya miskin. Tapi, karena muak dengan kecenderungan materialistik mereka. Dari situ yang muncul sebagai esensi dalam paham ekonomi sufistik Abu Dzarr adalah pembentukan moralnya, sedangkan pemerataan ekonomi atau kesejahteraan bersama merupakan efek dari pembentukan moral itu. Ekonomi sufistik Abu Dzarr ini bisa dinalar dengan logika ekonomi dan tasawuf sekaligus. Logika ekonominya adalah jika orang-orang kaya menjadi zuhud, maka seluruh komponen masyarakat akan sejahtera. Sedangkan logika sufistiknya adalah jika orang-orang kaya mau berbagi, maka mereka menjadi orang-orang yang zuhud dan moral tinggi.
Sebagai falsafah hidup pribadi atau gerakan spiritual, teori ekonomi sufistik ala Abu Dzarr adalah sebuah ide yang betul-betul cemerlang. Tapi, untuk menjadi ideologi masyarakat, teori Abu Dzarr ini hampir menjadi sebuah utopia. Mungkin karena itu juga, Ustman berkata sebagai jawaban atas desakan Abu Dzarr: "Wahai Abu Dzarr, tidak mungkin kita membawa masyarakat menjadi zuhud semua. Yang harus aku lakukan adalah mengatur mereka dengan hukum Allah dan memberikan anjuran agar mereka hidup sederhana."
(sumber: Republika)
Abu Dzarr al-Ghifari adalah tokoh sufi yang sangat disegani di kalangan sahabat. Meskipun enggan dengan kekayaan, ia sangat memikirkan kesejahteraan rakyat. Beliau tidak henti-hentinya menyuarakan pemerataan ekonomi di masyarakat. Ia tidak rela melihat ketimpangan dan gap yang curam antara si miskin dan si kaya. Ia berteriak dari Syiria hingga ke pusat pemerintahan Islam di Madinah agar si kaya tidak menumpuk kekayaan pribadi.
"Wahai orang-orang kaya, bantulah yang miskin. Orang-orang yang menumpuk kekayaan dan tidak mendermakannya di jalan Allah, akan dipanggang di neraka." Kalimat itu seringkali diteriakkan oleh Abu Dzarr di Syiria, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Serentak, rakyat kecil yang berekonomi lemah menjadi pendukung Abu Dzarr. Mereka meneriakkan kalimat yang sama di seluruh penjuru Syiria mirip orasi massif kaum proletar dalam pergulatan sosialisme modern.
Orang-orang kaya merasa terganggu dengan "kritik" tajam Abu Dzarr tersebut, hampir mirip barangkali dengan kondisi para borjuis di masa Perang Dingin yang sangat risih dengan ide sosialisme. Mereka mengadu kepada pemerintah Syiria. Mu`awiyah, yang saat itu menjabat Gubernur Syiria, segera mengirim Abu Dzarr ke Khalifah Ustman di Madinah.
Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr mempertegas pandangannya bahwa orang-orang kaya tidak semestinya menumpuk harta. Ia kemudian membaca firman Allah dalam Surah at-Taubah bahwa orang-orang yang menumpuk emas-perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah, mereka akan mendapat siksa yang pedih dan dipanggang di neraka.
Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr didebat oleh Ubay bin Ka`b. Ia bilang: "Tidak masalah, orang kaya menyimpan harta, asal ia memenuhi kewajiban yang terkait dengan kekayaannya itu". Abu Dzarr berang. Beliau tak bersikeras dengan pandangannya. "Aku tidak rela dengan orang-orang kaya, sehingga mereka membagikan hartanya dan berbuat baik kepada orang di sekelilingnya ….," tegasnya kepada Khalifah.
Abu Dzarr dengan segala kesufiannya memiliki kepekaan sosial yang begitu tinggi terhadap kondisi masyarakat di sekelilingnya. Ia hidup berzuhud, tidak suka harta, tapi memiliki gagasan yang revolusioner mengenai kesejahteraan.
Dengan gagasannya itu, Abu Dzarr dianggap sebagai simbol pembela orang-orang kecil yang proletar. Ide sosialisme Islam semacam Abu Dzarr inilah yang kemudian diusung oleh kelompok Islam sosialis Indonesia beberapa dekade setelah kemerdekaan. Beberapa tokoh Muslim sosialis meneriakkan pembelaan terhadap rakyat kecil dengan menggunakan kata mustadl`afin, sebuah term yang akrab sekali dengan pembelaan Alquran terhadap Muslimin yang tertindas di Mekkah. Mereka menemukan akarnya dalam Islam dan menjadikannya dasar atas kecenderungan mereka yang memihak terhadap paham sosialisme yang diadopsi dari Eropa pada masa Perang Dingin.
Meski sama-sama pembelaan terhadap rakyat jelata, ide dan semangat Abu Dzarr sangat berbeda dengan sosialisme modern. Abu Dzarr tidak mendasarkan paham ekonominya sebagai gerakan politik. Beliau tidak memiliki kepentingan dan tendensi apa pun dengan pahamnya itu.
Meskipun ada yang menengarai bahwa beliau dipengaruhi oleh Abdullah bin Saba', politisi pengacau pada masa pemerintahan Utsman. Bahkan, adapula yang berupaya mengaitkan paham Abu Dzarr dengan paham sosialisme ekstrim Mazdak di Persia, yang menyatakan bahwa harta dan wanita adalah aset umum yang tidak bisa menjadi milik pribadi. Namun menurut saya ini terlalu berlebihan.
Abu Dzarr tidak dipengaruhi oleh siapa pun. Beliau membenci penimbunan kekayaan semenjak awal masuk Islam. Dan, pandangan itu terus beliau pegang sampai dijemput ajal sendirian di Rabdzah, sebuah pelosok di timur Madinah.
Sebagai sufi yang tak memiliki kecintaan apapun terhadap harta, Abu Dzarr sangat risih dengan watak serba materialistik pada saat itu. Bukan karena sentimen terhadap orang-orang kaya, tapi berjuang menghadang watak rakus yang menjalar dengan sangat cepat dan mengakar di tengah-tengah masyarakat. Fokus Abu Dzarr bukan mengubah orang miskin menjadi kaya, tapi mengubah watak orang-orang kaya agar tidak rakus, tertumpu pada materi dan gila harta. Ketimpangan sosial di sekitarnya ia jadikan sebagai sarana untuk mengubah moralitas orang-orang kaya agar mau berbagi, tidak menumpuk kekayaan dan tidak "mempertuhankan" materi.
Abu Dzarr memberikan warna yang unik dalam tasawuf dan paham kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi beliau suka hidup miskin, di sisi lain beliau meneriakkan pemerataan ekonomi dan mengecam orang-orang kaya.
Protesnya terhadap orang-orang kaya, bukan karena dirinya miskin. Tapi, karena muak dengan kecenderungan materialistik mereka. Dari situ yang muncul sebagai esensi dalam paham ekonomi sufistik Abu Dzarr adalah pembentukan moralnya, sedangkan pemerataan ekonomi atau kesejahteraan bersama merupakan efek dari pembentukan moral itu. Ekonomi sufistik Abu Dzarr ini bisa dinalar dengan logika ekonomi dan tasawuf sekaligus. Logika ekonominya adalah jika orang-orang kaya menjadi zuhud, maka seluruh komponen masyarakat akan sejahtera. Sedangkan logika sufistiknya adalah jika orang-orang kaya mau berbagi, maka mereka menjadi orang-orang yang zuhud dan moral tinggi.
Sebagai falsafah hidup pribadi atau gerakan spiritual, teori ekonomi sufistik ala Abu Dzarr adalah sebuah ide yang betul-betul cemerlang. Tapi, untuk menjadi ideologi masyarakat, teori Abu Dzarr ini hampir menjadi sebuah utopia. Mungkin karena itu juga, Ustman berkata sebagai jawaban atas desakan Abu Dzarr: "Wahai Abu Dzarr, tidak mungkin kita membawa masyarakat menjadi zuhud semua. Yang harus aku lakukan adalah mengatur mereka dengan hukum Allah dan memberikan anjuran agar mereka hidup sederhana."
(sumber: Republika)
Post a Comment