Suatu waktu, Rasulullah SAW kedatangan tamu orang yang sangat tidak mampu (miskin), Rasulullah mengajak tamu tersebut ke rumah salah seorang istri beliau agar bisa dijamu selayaknya. Namun, istri Rasulullah hanya memiliki air putih dan tidak bisa menghidangkan makanan yang lain.

Rasulullah kemudian membawa tamunya tersebut kepada para sahabatnya, seraya menawarkan, "Siapa saja yang memuliakan tamuku ini, akan mendapat surga". Salah seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah spontan menjawab, "Saya Rasulullah!" Ia belum sempat berpikir, apakah di rumah ada makanan atau tidak? Yang terpenting, dia bisa menolong orang lain dan mendapatkan surga sebagaimana ditawarkan oleh Rasulullah.

Selanjutnya, tamu Rasulullah itu pun diajak ke rumahnya. Sampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, "Muliakanlah tamu Rasulullah ini!" Istrinya menjawab, "Kita tidak punya persediaan makanan, kecuali untuk si kecil anak kita!"

Tanpa berpikir panjang, Abu Thalhah langsung mengutarakan idenya, "Siapkan makanan itu, lalu pura-puralah memperbaiki lampu penerang yang ada di rumah, dan tidurkanlah anak kita!"

Ketika hari sudah gelap, tamu Rasulullah itu diajak ke tempat makan. Istri Abu Thalhah sibuk mempersiapkan hidangan seakan-akan untuk seluruh anggota keluarganya ditambah tamu Rasulullah. 

Setelah makanan dihidangkan, istri sahabat itu mendekati lampu penerang rumahnya, berpura- pura memperbaikinya, dan kemudian memadamkannya. Tujuannya tidak lain, agar sang tamu merasa nyaman menikmati hidangan itu sendirian.

Sebab, porsi makanan yang ada hanya cukup untuk satu orang. Tamu itu menikmati hidangan yang ada dengan lahap, tanpa merasa ada yang janggal dalam jamuan makan malam itu. Dia mengira tuan rumah juga ikut makan bersamanya. Keesokan harinya, Abu Thalhah menghadap Rasulullah, ia di sambut dengan senyuman, lalu beliau bersabda, "Allah tertawa (rida) dengan yang kalian lakukan berdua tadi malam."

Hasilnya, Rasulullah rida dengan simbol berupa senyuman ketika bertemu Abu Thalhah, dan menyampaikan kabar gembira bahwa Allah pun rida dengan apa yang mereka berdua lakukan. Setidaknya ada hikmah yang bisa kita petik dari kisah yang menjadi sebab turunnya Surah al-Hasyr ayat 9 ini.

Firman Allah SWT yang artinya : “Dan Orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.Al-Hasyr: 9)

Pertama, betapa Rasulullah dan Abu Thalhah sahabatnya memiliki jiwa penolong yang sangat mengagumkan sehingga dengan jiwa tersebut, keduanya tidak sempat berpikir apakah di rumahnya ada makanan yang bisa disuguhkan pada tamunya atau tidak? Yang penting memberi!

Kedua, ketika kedermawanan sudah mendarah daging dalam diri seseorang, berbagai cara bisa ia lakukan untuk tetap bisa memberi kepada orang lain, betapapun sulitnya kondisi yang sedang ia alami. Kemudian, orang yang dermawan tidak pernah memikirkan tentang dirinya saat hendak memberi, termasuk apa yang akan ia makan. 

(sumber:Republika edisi Rabu, 26 November 2014 Hal. 25 Oleh Abdul Syukur)

Post a Comment

 
Top