"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (Q.S. Al-An'am [6] : 82)
Indonesia diakui saat ini merupakan negara muslim terbesar. Tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai angka 244 juta jiwa. Konon, kekayaan alamnya juga melimpah ruah. Meskipun dieksploitasi dengan berbagai cara, kandungan ikan, hutan, minyak, gas, batubara, dan sebagainya, masih saja belum habis-habis.

Hanya saja, ironisnya, ditengah melimpahnya kekayaan minyak, rakyat Indonesia justru sering dipaksa mengantri untuk membeli bahan bakar minyak (BBM). Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil gas terbesar di dunia. Uniknya, harga gas elpiji di Indonesia (saat artikel ini ditulis) lebih mahal dari harga elpiji di Malaysia, yang konon bahan mentahnya diimpor dari Indonesia. Lihat juga harga daging, ikan, dan sebagainya.

Ada apa dengan negara kita? Apakah bangsa kita tidak mendapatkan rahmat dari Tuhan? Padahal sejak awal, bangsa ini sudah menerima konsep dasar Ketuhanan. Bahkan, dalam pembukaan Konstitusi (UUD 1945), ditegaskan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa".

Jika posisi Tuhan Yang Maha Esa begitu penting, lalu dimanakah Tuhan itu diletakkan oleh bangsa Indonesia, oleh para pemimpin kita, para tokoh, dan juga para cendekiawan kita. Bagi kaum Muslim, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai-nilai ketauhidan. Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah `azza wa jalla yaitu nama Tuhan orang Muslim, yang secara resmi disebut dalam Pembukaan UUD 1945.

Itulah yang diputuskan oleh para ulama yang berkumpul dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 21 Desember 2983. Ketika itu Munas menetapkan "Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam" yang pada poin kedua menegaskan Sila: "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam."

Jadi, begitu pentingnya kedudukan Tuhan Yang Maha Esa dalam Konstitusi Negara Kesatauan Republik Indonesia. Coba kita renungkan dengan hati yang dingin, untaian kata-kata pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Renungkan Sekali lagi
Bahwa, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu berdasar kepada "Ketuhanan Yang Maha Esa!". Jika mengikuti keputusan Munas Ulama NU tahun 1983, itu artinya, Negara Indonesia ini berdasarkan kepada Tauhid. Bagi muslim, siapa pun orangnya, dan apa pun jabatannya, sepatutnya menyadari hal itu. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna, pemerintah negara itu harus tunduk kepada prinsip-prinsip dan ajaran Tauhid. Maksudnya, yang menaati ajaran Tuhan Yang Maha Esa, bukan hanya individu dan komunitas Muslim, sebagaimana disebut dalam "tujuh kata" Piagam Jakarta yang sudah tergantikan dengan rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa", tetapi, Negara Indonesia itu sendiri, yang harus mendasarkan diri pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa.

Tahun 1951, Prof. Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul "Urat Punggung Pancasila", bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka jiwa.

Kepercayaan inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika dapat nikmat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari nikmat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilang kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya." (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah, 1985, hlm, 28-29).

Memang, tentu tidak sesuai dengan akal sehat kita sebagai manusia, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dimaknai sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan Tuhan. Apalagi sampai berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi, mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan tujuan untuk menyesatkan manusia.

Di bulan Oktober 2014 lalu kita mengalami pergantian pemerintahan an. Rezim Pak SBY digantikan rezim baru, khususnya di jajaran Eksekutif dan Yudikatif. Presiden dan wakil Presiden baru terpilih. Seperti ritual lima tahunan, biasanya, setiap pergantian kekuasaan, ada harapan baru di tengah masyarakat. Meskipun terasa berat, kita masih boleh berharap, bahwa para pemimpin bangsa mau menjadikan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar dalam perumusan konsep dan program pembangunan Nasional, agar tercapai tujuan negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Padahal, setiap muslim, senantiasa mengikrarkan dua kalimah syahadat, yang maknanya terang benderang: "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah!" Maknanya jelas, seorang Muslim hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah. Ia menolak tuhan-tuhan lain. Ia hanya menyembah dan taat kepada Allah, bukan taat kepada Tuyul atau Genderuwo! Ia pun mengakui, berikrar, bersaksi, bahwa Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Betulkah ciri utama manusia Indonesia - seperti dikatakan budayawan Mokhtar Lubis - adalah munafik? yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Wallahu a'lam. Yang jelas, Al-Qur'an begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang munafik. Di antaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku beriman; dan jika bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari golongan munafik juga.

Ada lagi golongan manusia yang Al-Quran begitu banyak menjelaskan tentang sifat dan perilaku jahat mereka. Itulah golongan Yahudi. Surat al-Baqarah banyak menceritakan bagaimana kebiadaban dan penghianatan Yahudi kepada Nabi Musa ra, yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir'aun.

Jika kita yang orang Indonesia sudah menyatakan diri beragama Islam, mengaku sebagai Muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosialnya, maka tidak relevan lagi, kita berdiskusi, apakah Indonesia ini negara beragama atau negara sekuler. Wacana bahwa Indonesia adalah "bukan negara agama dan bukan negara sekuler" tetapi juga bukan negara yang bukan-bukan tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki pandangan alam (worldview) Islam. Sebab, di manapun dan kapan pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada kita melalui utusan-utusan-Nya yang terakhir (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.48 Thn.XLI, 5 Shafar 1435 H/ 28 November 2014 M Oleh DR. Adian Husaini, MA)

Post a Comment

 
Top