"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap : "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim". (Q.S. Al-Anbiyaa [21] : 87)

Ayat di atas mengandung beberapa pelajaran, di antaranya adalah : Pertama, Bahwa para nabi berasal dari manusia, yang kadang berbuat salah dan lupa, maka Allah langsung menegurnya supaya kesalahan tersebut tidak berlangsung lama. Begitu juga yang dilakukan oleh nabi Yunus 'alahissalam ketika beliau meninggalkan kewajiban berdakwah setelah kaumnya yang tinggal di kota al-Mausil, Iraq mendustakannya, maka Allah menegurnya dengan melemparnya ke dalam perut ikan paus, maka beliau pada ayat ini disebut Dzun-Nun (orang yang masuk perut ikan paus).

Begitu juga yang dialami oleh nabi Adam 'alahissalam ketika memakan buah khuldi sehingga diturunkan dari syurga. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah ditegur oleh Allah dalam surat Abasa.

Kedua, Kebanyakan manusia mengira bahwa kemaksiatan yang mereka lakukan tidaklah berdampak buruk bagi kehidupan mereka. Padahal musibah-musibah yang menimpa manusia kebanyakan disebabkan oleh maksiat yang mereka perbuat. Sebaliknya ketaqwaan dan ketaatan akan membawa kepada keberkahan di dalam hidup seseorang. Allah `azza wa jalla berfirman : "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Q.S. Al-A'raf : 96)

Hal ini dikuatkan oleh firman Allah pada ayat lain, "(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (keadaan meraka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim." (Q.S. Al-Anfal ; 53-54)

Dikuatkan juga di dalam firman Allah di ayat lain : "Dan (juga) Karun, Fir'aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang menguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (Q.S. Al-Ankabut : 39-40)

Ketiga, Allah `azza wa jalla telah mengajarkan kepada kita bagaimana nabi Yunus 'alahissalam berdo'a di dalam kegelapan-kegelapan, yaitu ketika ditimpa musibah dan kesulitan hidup.

Berkata Ibnu Mas'ud : "Dalam tiga kegelapan : kegelapan perut ikan Paus, kegelapan lautan, dan kegelapan malam." (Tafsir Ibnu Katsir : 5/367)

Do'a nabi Yunus 'alahissalam tersebut mengandung tiga unsur pokok :

Unsur pertama : Laa ilaha illa anta
Mengikrarkan kembali tauhid kepada Allah, yaitu bahwa seorang hamba yang ingin berdoa kepada Allah hendaknya memperbaiki hubungannya dengan Allah dengan mentauhidkan dalam ibadah serta meninggalkan syirik. Ini terdapat di dalam surat al-Fatihah juga dengan firman-Nya: "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan". (Q.S. Al-Fatihah : 5)

Unsur Kedua : Subhanaka
Hendaknya dia selalu mensucikan Allah, dengan menyakini bahwa satu-satu Dzat yang suci dan sempurna serta tidak pernah salah adalah Allah. Sebaliknya manusia adalah makhluk yang lemah yang penuh dengan kekhilafan dan kesalahan.

Oleh karena itu, posisi yang paling dekat dengan Allah adalah ketika kita sedang bersujud di hadapan Allah pada waktu sholat. Sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah do'a di dalamnya." (H.R. Muslim)

Di saat kepala dan jidat kita yang kita anggap sebagai anggota tubuh yang paling mulia ini, kita letakkan di atas tanah yang setiap hari kita injak-injak, maka saat itulah kita menyebutkan kebesaran dan ketinggian Allah dengan mengucapkan: "Subhana Rabbiya al-A'la" (Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Tinggi), sebagaimana di dalam hadist Hudzaifah ra : "Bahwasanya beliau sholat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika ruku' beliau membaca : "Subhana Rabbiya al-Adhim", dan ketika sujud, beliau membaca : "Subhana Rabbiya al-A'la" (Hadist Shahih lighairihi Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)

Unsur Ketiga : Inni kuntu min Ad-Dzalimin
Hendaknya seorang hamba dalam berdoa merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya, tidak mempunyai kekuatan, selalu membutuhkan pertolongan Allah di dalam kehidupan ini. Inilah hakekat ibadah, yaitu ketundukan kita kepada Allah `azza wa jalla, semakin kita menampakkan ketundukan kita di hadapan Allah, maka semakin kita dekat kepada Allah `azza wa jalla, maka semakin kita dekat dengan Allah `azza wa jalla.

Di kisahkan pada zaman dahulu bahwa seseorang datang kepada salah seorang ulama besar seraya menanyakan penyebab tidak dikabulkan doanya oleh Allah, padahal dia sudah berdoa selama 40 tahun lamanya, maka ulama tersebut berkata: "Barangkali anda selama ini ketika berdoa tidak pernah mengakui dosa-dosa anda."

Doa ini serupa dengan doa para nabi, seperti doa nabi Adam 'alahissalam : "Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." (Q.S. Al-A'raaf : 23)

Ini juga doa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist di bawah ini : "Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra bahwa dia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Ajarkanlah padaku doa yang aku baca dalam shalatku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Ucapkanlah : (artinya = Ya Allah sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engaku maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan kasihanilah diriku sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Pelajaran Keempat: Kisah Nabi Yunus 'alahissalam adalah kisah seorang beriman yang patut kita contoh. Allah `azza wa jalla berfirman : Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (Q.S. Al-Anbiya : 88)

Para ulama menjelaskan bahwa doa Nabi Yunus 'alahissalam ini boleh dibaca di saat kita tertimpa musibah dan bencana, mudah-mudahan dengan doa tersebut Allah akan menolongnya sebagaimana sebelumnya telah menolong Nabi Yunus. Berkata Syaikh Abdurrah As-Sa'di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/529) : "Ayat ini merupakan janji dan berita gembira bagi setiap orang beriman yang tertimpa musibah dan kesulitan, sesungguhnya Allah akan menyelamatkannya dan mengangkat kesulitannya dan meringankan bebannya karena keimanannya kepada Allah, sebagaimana yang dilakukan terhadap nabi Yunus 'alahissalam.

Demikianlah Allah menolong orang-orang beriman, artinya Allah tidak serta menolong orang beriman tanpa melalui sunnatullah yang telah ditetapkan Allah. Tetapi Allah menolong hamba-Nya dengan cara-cara yang telah ditetapkannya, yaitu hamba tersebut beristighfar, bertauhid dan selalu memuji-Nya serta mengaku kesalahan-kesalahannya, setelah itu akan datang pertolongan Allah. Wallahu A'lam.

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.45 Thn.XLI, 14 Muharram 1435 H/ 7 November 2014 M Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA)

Post a Comment

 
Top