"Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (Q.S. Al Hujarat [49] : 10)
Akhir-akhir ini gejala-gejala menurunnya semangat ukhuwwah (persaudaraan) semakin tampak ke permukaan yang ditandai oleh perseteruan antara para elit, penelantaran kaum dhu'afa, berkurangnya solidaritas sesama anak bangsa, dan lain sebagainya. Walhasil, semboyan gemah ripah loh jinawi; Indonesia negeri yang kaya alamnya, ramah penduduknya, dan tenteram hidupnya hanya terbatas dalam ucapan.
Realita membuktikan bahwasanya, keadaan ukhuwwah di antara kaum muslimin saat ini sudah sangat memprihatinkan. Sebagian kita tidak lagi mempedulikan keadaan saudaranya seiman, atau tidak merasa perlu untuk mengurusi dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang sedang menghimpitnya.
Jika bertolak dari hadist riwayat Muslim yang diriwayatkan dari Abu Hurairiah ra, maka penyebab utamanya berasal dari internal umat yakni penyakit kanker masyarakat yang sudah berada pada stadium tinggi, yakni prasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, menguping rahasia orang lain untuk kemudian membukanya, persaingan tidak sehat, dengki, saling membenci, dan saling membelakangi atau memutuskan hubungan silaturahmi. Faktor eksternal yang berasal dari umat lain turut pula menipiskan semangat ukhuwwah.
Ukhuwwah adalah ikatan jiwa yang melahirkan perasaan kasih sayang, cinta, dan penghormatan yang mendalam terhadap setiap orang, di mana keterpautan jiwa itu ditautkan oleh ikatan akidah Islam, iman dan takwa.
Persaudaraan yang tulus ini akan melahirkan rasa kasih sayang yang mendalam pada jiwa setiap muslim dan mendatangkan dampak positif, seperti saling menolong, mengutamakan orang lain, ramah, dan mudah untuk saling memaafkan.
Upaya mewujudkan masyarakat yang damai karena damai itu indah, memiliki gairah bekerja sama dan saling sayang-menyayangi di kalangan masyarakat Muslim adalah dengan kembali ke jalan ukhuwwah.
Pertama, semangat mendahulukan orang lain adalah kata kuncinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah `azza wa jalla, "...mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri; sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)." (Q.S. Al-Hasyr : 9).
Kedua, persaudaraan prinsipnya diikat oleh pertalian-pertalian darah dan turunan (biologis), hubungan perkawinan, keluarga, budaya, adat istiadat (etnologis), cita-cita (ideologis), kepentingan, suku, dan bangsa. Sekalipun demikian, Islam mengajarkan persaudaraan dalam ruang lingkup yang lebih luas serta perlu ditingkatkan, yakni persaudaraan yang diikat oleh persamaan akidah (keyakinan), sesama orang mukmin bersaudara. Di mana dan kapanpun umat mukmin adalah bersaudara.
Ketiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam membangun persaudaraan (ukhuwwah) mengungkapkan berbagai metafora misalnya; orang mukmin itu "bagai sebuah bangunan rumah yang komponen materialnya saling mengikat dan menopang", "bagai dua tangan yang harus saling bersih membersihkan", dan "bagai batang tubuh yang jika salah satu anggotanya merasa sakit maka akan terasa meriang dan panas sekujur tubuh." Metafora-metafora yang diungkap oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas menggambarkan bagaimana dekatnya hubungan persaudaraan itu tidak disekat oleh dinding-dinding bahasa, warna kulit, warga negara, status sosial, yang terpenting adalah adanya ikatan batiniah yang kuat.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab dikenal dengan kabilah-kabilah atau suku-sukunya yang satu suku dengan suku lainnya sering terlibat perselisihan dan permusuhan. Yatsrib (Madinah sekarang) dihuni oleh berbagai suku; Aus, Khazraj, Quraidzah, Qainuqa', Bani Nadhir, dan sebagainya. Sesama mereka sering melakukan pertumpahan darah, berperang hanya karena masalah sangat sepele.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang atas undangan sebagian dari mereka. Kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke Yatsrib membawa perubahan dan angin segar bagi kehidupan mereka. Yaitu kedamaian dan kesejahteraan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan mereka dalam satu ikatan batiniah yaitu Islam. Bahkan Rasulullah membangun rasa kebersamaan dengan non-Muslim dengan membuat kontrak sosial sebagai tercantum dalam Piagam Madinah.
Keempat, menuju jalan ukhuwwah (persaudaraan) adalah dengan memperhatikan keadaan orang-orang mukmin lainnya. Mari kita perhatikan riwayat-riwayat di bawah ini:
Diriwayatkan dari Abi Sa'id al-Hudri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa mempunyai kelebihan tenaga maka hendaklah ia berikan kepada orang yang tidak mempunyai tenaga dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal, hendaklah ia berikan kepada orang yang tidak mempunyai bekal. Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa macam benda sebagaimana yang tersebut, sehingga kami tidak mempunyai seorang pun di antara kami yang mempunyai kelebihan hak." (H.R. Muslim)
Diriwayatkan pula dari Abu Musa bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Berilah makan orang yang lapar dan lepaskanlah orang yang dalam penderitaan." (H.R. Bukhari)
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Barangsiapa tidak menaruh belas kasihan kepada manusia, maka Allah tidak menaruh belas kasihan kepadanya." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdurrahman bin Abu Bakar As-Shiddiq ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang mempunyai makanan untuk dua orang, maka hendaklah ia pergi kepada orang ketiga, dan barangsiapa yang mempunyai makan untuk empat orang, maka hendaklah ia pergi kepada orang yang kelima atau yang keenam." (H.R. Bukhri)
Di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah para sahabat beliau yang dapat kita jadikan tauladan dalam membangun persaudaraan dengan cara memperhatikan orang-orang yang lemah dalam berbagai aspek kehidupan dan serba ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Umar bin Khattab ra berkata, "Kalau seandainya apa yang aku urus ini sudah sejak dulu, niscaya aku akan memungut kelebihan harta orang-orang kaya itu lalu akan aku bagikan kepada orang-orang fakir muhajirin." Beliau juga pernah menyatakan, "Di dalam harta kekayaanmu ada suatu hak (bagian) yang dikeluarkan selain zakat".
Ali bin Abi Thalib ra berkata, "Sesungguhnya Allah `azza wa jalla menentukan (= mewajibkan) atas orang-orang kaya bahwa di dalam harta-harta meraka ada bagian yang harus dikeluarkan menurut ukuran yang dapat mencukupi kebutuhan orang-orang di antara mereka, apabila mereka menderita lapar, telanjang, atau terlantar. Kemudian kalau orang-orang kaya tersebut enggan mengeluarkannya niscaya Allah akan melakukan perhitungan kepada mereka kelak pada hari kiamat dan akan menyiksa mereka karena perbuatannya itu."
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan betapa perlunya memperhatikan keadaan sesama mukmin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya merupakan sosok pemimpin masyarakat yang sangat memperhatikan masyarakat dalam rangka mewujudkan rasa empati, simpati, dan persudaraan. Jika demikian, maka pemimpin bangsa ini juga harus meneladani Rasulullah dan sahabat-sahabatnya menjadi pemimpin yang memiliki integritas tinggi yang ucapan dan perbuatannya dapat ia pertanggung-jawabkan di hadapan ummat dan Allah `azza wa jalla
Pemimpin yang jauh dari sifat-sifat despotisme, militerisme, fasisme, adigang, adigung, adiguna. Pemimpin yang partisipatif dan terbuka bagi kritik. Pemimpin yang membela orang lemah. Pemimpin yang konsisten dalam perjuagan, dan pemimpin yang amanah. Wallahu a'lam.
(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.46 Thn.XLI, 21 Muharram 1435 H/ 14 November 2014 M Oleh Dr. Parlindungan Siregar, MA sbg Mubaligh Dewan Da'wah Propinsi DKI Jakarta)
Post a Comment