Ketika Tuhan Disingkirkan
Ketika wahyu disingkirkan, maka akal kemudian dituhankan. Rasionalisme menjadi pedoman. Gagasan rasionalisasi bisa ditelusuri dari seorang bernama Rene Descartes (m. 1650). Ia sering digelari sebagai yang bergelar Bapak Filsafat Modern memformulasikan sebuah prinsip cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada.”
Harun Yahya, dalam bukunya, The Disasters Darwinism Brought to Humanity (Al-Attique Publishers Inc.), menggambarkan berbagai bencana kemanusiaan yang ditimbulkan akibat Darwinisme, di antaranya berupa rasisme dan kolonialisme. Ketika ilmu dijauhkan dari tuntunan wahyu; ketika ilmu diabdikan untuk memuaskan hawa nafsu, maka bencana kemanusiaan tidak mungkin terhindarkan.
Peradaban Barat, ditulis oleh sejarawan Marvin Perry, adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama). Peradaban ini penuh kontradiksi. Satu sisi, ia memberi sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan sumbangan besar bagi berbagai kemudahan fasilitas hidup. Tapi, pada sisi lain, peradaban ini memberi kontribusi besar kepada penghancuran alam semesta. (Lihat, Marvin Perry, Western Civilization A Brief History, 1997).
Di zaman modern ini pula, menusia telah membelanjakan secara ‘gila-gilaan’ alat-alat pembunuh massal. Sekedar contoh, Jeremy Isaacs dan Taylor Dow ning, dalam bukunya, Cold War, memaparkan, antara 1945-1996 saja, diperkirakan sekitar 8 trilyun USD ($ 8,000,000,000,000) biaya dikeluarkan untuk persenjataan di seluruh dunia. Puncaknya, persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Padahal, seluruh bom yang diledakkan pada Perang Dunia II ‘hanya’ 6 megaton.
Dunia kedokteran modern, misalnya, mengenal praktik vivisection (arti harfiah ”memotong hidup-hidup”) yaitu cara menyiksa hewan hidup, sebagai dorongan bisnis untuk menguji obat-obatan agar dapat mengurangi daftar panjang segala jenis penyakit manusia (Pietro Croce, Vivisection or Science: An Investigation into Testing Drugs and Safeguarding Health, 1999). Praktik ini selain tidak beretika keilmuan dan tidak “berperikemanusiaan” juga menyisakan pertanyaan intrinsik tentang asumsi atas tingkat kesamaan uji laboratorium hewan dan manusia yang mengesahkan eksplorasi hasil klinis dari satu ke lainnya.
Dalam dunia pertanian modern, penggunaan bahan-bahan kimia seperti luasnya penggunaan pestisida, herbisida, pupuk nitrogen sintetis dan seterusnya, telah meracuni bumi, membunuh kehidupan margasatwa bahkan meracuni hasil panen dan mengganggu kesehatan para petani. Pertanian yang semula disebut dengan istilah agriculture (kultur, suatu cara hidup saling menghargai, timbal balik komunal, dan kooperatif, bukan kompetitif) berkembang lebih populer dengan istilah agribusiness, sebuah sistem yang memaksakan tirani korporat untuk memaksimalkan keuntungan dan menekan biaya, menjadikan petani/penduduk lokal yang dahulu punya harga diri dan mandiri lalu berubah menjadi buruh upahan di tanah sendiri (Adi Setia, Three Meanings of Islamic Science Toward Operasionalizing Islamization of Knowledge, 2007).
Ketika wahyu disingkirkan, maka akal kemudian dituhankan. Rasionalisme menjadi pedoman. Gagasan rasionalisasi bisa ditelusuri dari seorang bernama Rene Descartes (m. 1650). Ia sering digelari sebagai yang bergelar Bapak Filsafat Modern memformulasikan sebuah prinsip cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada”. Descartes tidak saja mengukur suatu kebenaran dengan rasio, tapi mengakui eksistensi seseorang hanya bagi mereka yang menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya.
Pendapat Descartes bahwa sumber ilmu adalah rasio dan panca indra diikuti para filosof lain seperti Thomas Hobbes, Benedict Spinoza, John Locke, JJ Rousseau, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Bertrand Russell, Emilio Betti, Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain. Selanjutnya pendapat ini melahirkan pembaratan (westernisasi) yang menekankan dasar ilmu pengetahuan adalah rasio dan panca indra.
Pendapat ini makin membuat peran akal menguat sehingga menafikan peran Wahyu dan melahirkan ide-ide ateis. Immanuel Kant menyatakan bahwa segala hal yang berbau metafisika tidak mungkin mencapai kebenaran karena tidak bersandarkan kepada panca indra. Menurut Kant, di dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar fakta empiris (Justus Harnack, Kant’s Theory of Knowledge, 1968, hal 142-145).
Ide Kant ini berpengaruh pada filosof lain, di antaranya Hegel yang melahirkan filsafat dialektika tesis-antitesis. Intinya, pengetahuan itu selalu berproses. Tahap yang sudah dicapai, disangkal atau didebat untuk melahirkan tahap baru. Sebuah tesis dibuat antitesisnya untuk melahirkan sintesis. Jika yang menyangkal (antitesis) kalah kuat dengan yang disangkal (tesis) maka tesis tersebut tetap dipertahankan dan menjadi sintesis. Ide ini kemudian melahirkan paham ateisme yang diusung oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx (m. 1883). Marx berpendapat bahwa agama adalah ’keluhan mahluk yang tertekan”. Agama adalah candu. Agama adalah faktor sekunder, faktor primernya adalah ekonomi (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, 2001, hal 71-76).
Selain Karl Marx, ilmuwan Barat sekuler yang berpengaruh luas dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Charles Robert Darwin (m. 1882). Ia menulis sebuah buku yang berjudul The Origin of Species yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Mahluk hidup bisa hidup dan bertahan karena faktor adaptasi pada lingkungan. Menurutnya, Tuhan tidak menciptakan mahluk hidup. Semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan karena kondisi-kondisi alam (natural conditions) (Charles Darwin, The Origin of Species, 1958, hal 437).
Lalu berbagai disiplin ilmu lain yang ateistik juga bermunculan. Bidang psikologi digemakan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya. Lucunya, psikologi modern, justru menjauhkan ilmu itu dari objek kajian utamanya, yaitu “jiwa” manusia itu sendiri. Dalam bidang Sosiologi, positivisme August Comte berhasil menggusur peran agama. Di bidang politik, Machiaveli menggulirkan politik tanpa moral. Bahwa politik adalah sekedar mekanisme untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Di lapangan filsafat ada Friedrich Nietzche (1844-1900) dengan semboyannya ”God is dead”.
Dalam bukunya, A History of God (1993), Karen Armstrong menulis sebuah bab berjudul “Does God have a Future?” Di Barat, gugatan terhadap eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan, terus dikumandangkan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) bertahan dengan pendapatnya, ”even if God existed, it was still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.”
Jadi, ide tentang Tuhan dianggap mengganggu manusia. Maka, para pemuja kebebasan berkomitmen: singkirkan Tuhan, agar kebebasan kita tidak terganggu; agar kita sepuas-puasnya melampiaskan hawa nafsu. Padahal, al-Quran justru menjelaskan: ”Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang!” (QS 13:28).
(sumber:Republika)
Post a Comment