pemurah

Alkisah, sahabat Anas pernah membagikan daging kambing yang sudah dimasak kepada seorang temannya. Sang teman tidak langsung menyantapnya, tapi memberikannya kepada orang lain yang dianggap lebih membutuhkan. Orang yang disebut terakhir ini pun memberikan lagi kepada tetangganya. Begitu seterusnya, hingga daging itu berputar sampai sepuluh rumah.

Ini hanyalah contoh kecil dari kisah kedermawanan dan kemurahan hati sahabat-sahabat Nabi. Nabi sendiri, sejak kepindahannya ke Madinah, seperti dituturkan Aisyah, istrinya, tak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut hingga akhir hayatnya. Ini bukan karena Nabi saw miskin, tetapi semata-mata lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingan dirinya dan keluarganya. (H.R. Baihaqi).

Dalam akhlak Islam, sikap murah hati dan kedermawanan seperti tersebut di atas, dikenal dengan istilah itsar yang secara harfiah berarti mengutamakan orang lain. Itsar seperti diutarakan Imam Ghazali di kitab Ihya 'Ulum al-Din, berarti kesediaan seseorang untuk mendermakan hartanya di jalan Allah, meski ia sendiri membutuhkannya.

Itsar, lanjut Ghazali, merupakan kedermawanan pada tingkatnya yang paling tinggi, tak ada kedermawanan di atasnya. Dalam Alquran, Allah SWT memuji orang-orang yang memiliki sikap demikian. Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Hasyr, 9).

Ayat ini, menurut banyak mufassir, berkenaan dengan sikap kaum Anshar yang dengan tulus dapat bermurah hati dengan menyerahkan bagian mereka (dari harta rampasan perang Banu Nadhir) kepada saudara-saudara mereka dari Muhajirin. Mereka memberikan bagiannya itu bukan karena tidak membutuhkan lagi, tetapi semata-mata karena cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ini mengandung makna bahwa itsar merupakan salah satu bentuk dari kualitas moral (Akhlaq al-Karimah) yang sangat tinggi, yang menuntut bukan saja kepedulian, tetapi juga pengorbanan.

Karena itu, menurut Suharwardi dalam Awarif al-Ma'rif, seorang tak mungkin memiliki sifat itu, kecuali yang bersangkutan memiliki dua sifat berikut ini. Pertama, ia memiliki hati dan jiwa yang bersih serta keluhuran budi pekerti. Kedua, ia berpendapat bahwa segala yang ada di muka bumi, termasuk harta kekayaan yang dimiliki adalah milik Allah swt semata.

Untuk itu, ia akan memandang harta kekayaannya sebagai titipan Tuhan (amanah) yang harus diteruskan dan disampaikan kepada yang lebih berhak menerimanya. Sikap murah hati dan kepedulian terhadap sesama seperti dicontohkan Nabi dan kaum Muslimin di awal periode Islam itu, kini memang hampir tak dikenal lagi atau telah mati dalam tradisi kehidupan kita. Tentu, keberuntungan dan pahala besar bagi orang yang mau menghidupkannya kembali.

(sumber:Republika)

Post a Comment

 
Top