kemerdekaan

Lima hari yang lalu, gegap gempita tumpah, penduduk di negeri ini merayakan hari kemerdekaannya. Mereka mengenang kembali 70 tahun yang silam. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan ke seluruh dunia bahwa bangsa kita telah merdeka. Bahwa kepulauan nusantara, terbentang hingga khatulistiwa. Ya, kita telah merdeka!

Namun, sesudah 70 tahun, betapa berbedanya kini rupa masa. Kita hidup di sebuah masa ketika uang dipuja-puja sebagai Tuhan. Dengan uang, hubungan antarmanusia diukur dan ditentukan. Ketika mobil, tanah, deposito, relasi dan kepangkatan; ketika politik, ideologi, dan kekuasaan disembah sebagai Zat Pencipta sehingga di negeri ini tak jelas lagi batas antara halal dan haram. Dan, ketika rupiah dan ornamen kekayaan ditinggikan sebagai berhala. Sepertinya kita adalah calon kuat juara korupsi olimpiade dunia.

Sesudah 70 tahun merdeka, perilaku bangsa sangat berubah. Sedikit-sedikit tersinggung, terancung kepalan dan marah-marah. Lalu merusak, membakar, dan menumpahkan darah. Berteriak dengan kata-kata serapah. Sungguh sirna citra bangsa yang ramah tamah. Keberingasan menggantikan senyum yang indah.

Sesudah 70 tahun merdeka, hilang nilai-nilai luhur; nilai keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, dan tenggang rasa. Pengorbanan, tanggung jawab, ketertiban, dan pengendalian diri. Justru, yang merebak adalah adu mulut, main intrik, jegal-menjegal, fitnah- memfitnah. Tipu-menipu, suap-menyuap, dan dusta- berdusta. Remuk berkeping-keping karakter mulia bangsa tercinta kita ini.

Ikhwah fillah, masih adakah harapan kita sebagai bangsa? Jawabannya adalah masih ada. Karena, kita masih punya mereka. Kita masih punya para petani di desa yang menyubsidi harga nasi orang kota. Buruh yang bergaji rendah, tapi tetap saja bekerja. Guru-guru yang mengajarkan ilmu dengan setia, meski di pagi dan sore mengontel sepeda. Birokrat yang bersih, tak sudi diperciki noda. Penegak hukum yang masih rapi nuraninya. Meski tak berpunya, tapi tetap bersahaja.

Negeri kita belum benar-benar hancur adalah karena meraka. Karena doa rakyat yang melarat yang terhijab wajahnya. Karena doa orang sakit yang terbaring di permukiman sederhana. Lantaran ia ditolak di RS besar karena tak kuat membayarnya. Karena doa 10 juta anak Indonesia yang ingin bersekolah. Karena doa 20 juta penganggur yang merindukan lapangan kerja.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka! Ah, masa iya! Merdeka sebenarnya adalah merdeka hati dari ilah, tuhan menuhan selain Allah. Pelaku syirik, kufur, fasik, sungguh belum merdeka.

Merdeka sesungguhnya adalah merdeka dari tipu daya dunia. Serakah lagi bakhil belum benar-benar merdeka. Merdeka dari nafsu. Pezina, pemabuk, pejudi, pemarah belum juga dianggap merdeka. Merdeka dari keakuan diri. Sombong, hasud, riya belum disebut merdeka. Merdeka dari kebodohon. Malas belajar, malas bekerja, malas ngaji juga belum dipandang merdeka. Merdeka dari setan. Percaya dukun, jimat, sesajen, ramalan adalah bukan sosok merdeka. Merdeka dari sifat zalim. Pemimpin tirani, pencuri, koruptor, pengkhianat adalah bukan tipikal merdeka.

Dengarkan Kalam Allah, "Barang siapa yang Allah selamatkan dari siksa Neraka Jahanam, dan Allah masukkan ke dalam syurga-Nya di akhirat kelak itulah hamba Allah yang merdeka!" (QS Ali Imron 185).

Karena itu, hamba yang merdeka itu adalah hamba Allah yang beriman, yang sangat takut maksiat, tetap istiqamah dengan kemuliaan akhlaknya; terutama sifat rendah hati dan kedermawanan. Cinta umat manusia, terutama saudaranya seiman, menghormati perbedaan, mencintai negerinya, keluarganya, para gurunya, para sahabatnya, para dhuafa, dan orang- orang tertindas. Wallahu a'lam.

(sumber:Republika edisi Sabtu, 22 Agustus 2015 Hal. 7 Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham)

Post a Comment

 
Top