Makrifat Kepada Allah
Syekh Ahmad Atailah pernah berkata, "Apabila Allah SWT telah membukakan pintu makrifat untuk seorang hamba, karena dengan makrifat Allah itu, engkau tidak perlu pada amalanmu yang memang sedikit itu. Karena, Allah telah membukakan makrifat untukmu itu, berarti Allah berkehendak memberi anugerah-Nya kepadamu, sedang amal-amal yang engkau lakukan adalah semacam pemberian ketaatan kepada-Nya. Kalau demikian, maka di manakah letaknya perbandingan antara ketaatan hamba dan anugerah yang diterima dari Allah SWT."
Makrifat kepada Allah mengandung makna mengenal Allah. Seorang hamba yang telah mengenal Allah akan merasakan kehadiran Allah setiap gerak langkah kaki, tangan, kedipan mata, pendengaran, serta akal dan pikirannya. Dia akan merasakan betapa lemahnya di hadapan Sang Khalik Yang Maha Sempurna dan yang memiliki sifat Rahman-Rahim. Sehingga dalam segala aktivitasnya, selalu mengharapkan pertolongan Allah Yang Mahasempurna.
Seperti dicontohkan Rasulullah SAW setiap kali menghadapi pertanyaan para sahabat, tidak memberikan penjelasan yang belum Allah turunkan petunjuknya. Beliau SAW selalu memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk. Demikian kesempurnaan akhlak dan makrifat Rasulullah kepada Allah.
Makrifat kepada Allah diperlukan dalam beribadah dan beramal sehingga ia akan sampai pada tingkatan hamba yang haqqulyakin karena meyakini Allah itu ada dan tidak terpisahkan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ini merupakan hal utama sebelum melaksanakan ibadah. Sedangkan, jika seorang hamba berada pada ilmul yaqqin ketika seorang hamba mengetahui Allah itu merupakan kewajiban dan tingkatan ainul yaqqin. Ketika dia mengenal Allah, menurut ilmu Allah sendiri.
Makrifat pada dasarnya bukan hanya persoalan rohani semata, melainkan bagaimana kemudian dapat menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Tingkat makrifat seseorang akan terwujud dalam perilaku dan cara menafsir sebuah fenomena sosial tertentu. Apa yang menjadi fakta kehidupan tidak luput dari objek tafakur. Apa yang terjadi pada kehidupan manusia tidak luput dari kehendak Allah Yang Mahakuasa. Sebagai hamba yang serbaterbatas, manusia diharapkan dapat berintrospeksi terhadap apa yang selama ini diperbuat.
Kini, mari kita bertafakur terhadap apa yang menimpa bangsa ini, mulai dari hal kecil hingga yang paling besar. Kita bisa mengambil contoh, misalnya, yang kini sedang menimpa bangsa ini, yaitu kabut asap. Kabut asap telah berbulan-bulan belum terselesaikan, bahkan semakin meluas kerusakan hutan dan akibatnya.
Banyak sudah masyarakat menjadi korban, baik meninggal maupun sakit. Masyarakat kehilangan aktivitas pekerjaan atau tidak sekolah karena terhalang kabut asap. Wahai manusia, alam jagat raya ini milik Allah. "... Milik-Nya apa yang ada di langit dan bumi...." (QS al-Baqarah [2]: 255).
Kini, mari kita bertanya pada diri kita seberapa luas jangkauan tangan kita, seberapa jauh langkah kaki kita, seberapa luas ilmu kita, seberapa kuat tenaga kita, dan seberapa sabar kita untuk mengatasi masalah itu dibanding dengan pasukan Allah.
Ilmu dan pengetahuan Allah meliputi alam dunia, juga alam akhirat. Seluruh makhluk akan tunduk kepada Sang Pencipta dan pemilik alam ini, yaitu Allah SWT. Lalu, apa yang mesti kita yakini?
Bencana ini diakibatkan oleh ketamakan serta keserakahan atau kebodohan kita sebagai pemegang amanah Allah. Saatnya kita kembali kepada Allah, bertobat, memohon pertolongan serta tak mengulangi perbuatan itu kembali. Wallahu a'lam.
(sumber:Republika edisi Jumat, 30 Oktober 2015 Hal. 12 Oleh Asep Effendi)
Post a Comment