mengendalikan amarah

Saat terjadi Perang Khandaq, terjadi pertarungan sengit antara Ali bin Abi Thalib RA melawan Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot kaum Musyrikin yang paling ditakuti. Hanya tinggal satu tebasan saja, sepupu Rasulullah SAW itu akan memenangkan pertarungan.

Belum sempat membunuh, musuh meludahi muka Ali. Bukannya langsung menebaskan pedangnya, Ali malah mundur beberapa saat, seolah ingin membuang amarah. "Aku tak ingin membunuhnya karena marah. Sampai lenyap amarah ini karena aku ingin membunuhnya semata-mata karena Allah," katanya menegaskan.

Kisah masyhur tersebut memberikan kita pelajaran berharga bahwa amarah harus dikendalikan. Seperti berita yang masih hangat, karena senggolan kendaraan, seorang oknum TNI tega membunuh warga sipil yang tak bersenjata. Bukankah itu tak seharusnya terjadi?

Dalam kehidupan ini, kekecewaan atas suatu kondisi atau putusan tentu pernah dialami siapa pun. Rasanya sangat menyedihkan, bahkan menyakitkan. Marah, cemburu, iri, bahkan dengki tak bisa dihindari hinggap dalam sanubari.

Padahal, Rasulullah SAW amat melarang umatnya saling membenci satu sama lain. Jangankan dengan sesama Muslim, dengan musuh sekalipun, bukan kemarahan sebagai dasar pembenaran terjadinya pembunuhan. Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian saling memutuskan tali silaturahim, janganlah saling membelakangi, janganlah saling membenci, dan janganlah saling menghasut. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan, tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan Muslim yang lainnya melebihi dari tiga hari." (HR Bukhari dan Muslim).

Bagi kita orang beriman, jadikanlah kemarahan, cemburu, dan iri menjadi energi positif. Tentu saja, mengubah energi negatif menjadi positif itu tidaklah mudah. Dibutuhkan kekuatan batin, ketangguhan iman, dan penguasaan diri yang lebih baik. Itulah modal dasarnya. Selanjutnya, energi iri itu harus diubah menjadi energi untuk berlomba dalam kebaikan. Yakinlah emas itu akan tetap emas walau berada di sistem yang buruk sekalipun. Tetaplah berfokus pada produktivitas diri, menyebar kebaikan sebaik mungkin.

Menjadi pemaaf atas kekecewaan dan kemarahan ialah bukti teguhnya keimanan. Firman-Nya, "Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh." (QS al-A'raf:199).

Ketika kita kecewa pada seseorang atau kondisi, marah tentu membakar jiwa. Sadarilah, energi negatif itu kadang membakar semua kebaikan, melampaui batasan yang ada. Dendam itu kadang menuntut lebih karena puasnya saat orang lain lebih menderita dari kita. Ketahuilah, bagi mereka yang bersabar dan dapat mengendalikan amarah, Allah Yang Maha Pengampun menjanjikan kenikmatan di akhirat kelak.

Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang mampu menahan marah, padahal sebenarnya ia bisa untuk melampiaskannya, maka pada hari kiamat Allah SWT akan memanggilnya di hadapan para makhluk, kemudian ia diminta untuk memilih bidadari yang cantik jelita sesuai dengan yang diinginkan." (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Terkadang, kemarahan dan kebencian sering dipicu oleh prasangka-prasangka yang belum jelas kebenarannya. Kedepankan tabayun untuk semua informasi yang tengah ditudingkan. Hiruplah udara segar dan berhusnuzhanlah pada siapa pun. Bertobatlah dan bersabar untuk semua pengalaman yang menyakitkan itu. Maka, biarkan hati ini kembali diterangi kebaikan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Wallahu a'lam.

(sumber:Republika edisi Jumat, 13 November 2015 Hal. 12 Oleh Iu Rusliana)

Post a Comment

 
Top