Saku Keberkahan
Pagi itu cuaca cerah membelah pinggiran Kota Semarang, Jawa Tengah. Angin semilir menyapa tanda pagi tiba. Selepas shalat Subuh di masjid, saya berhenti melihat kerumunan. Tampak orang duduk rapi di pinggir jalan menyantap sarapan. Kendaraan lalu-lalang tak dihiraukan. Saya penasaran dan menghampirinya.
Ternyata, mereka sedang menyantap sepincuk nasi. "Bu, saya satu pincuk, ya," pintaku. "Antre ya, Mas,"jawabnya singkat. Suasana pagi itu begitu indah. Satu per satu pembeli dilayani dengan tertib. Jauh dari kesan rebutan, seperti yang sering saya lihat di kota-kota besar."Bu, sepincuk nasi berapa harganya?" "Tiga ribu, Mas,"jawabnya singkat sambil melayani pembeli lainnya.
Sungguh, saya terkaget. Uang Rp 3.000 dapat sepincuk nasi. Padahal, di kota-kota besar, untuk bayar parkir pun kurang. Apalagi untuk makan. "Jam berapa bukanya, Bu?" tanyaku. "Jam lima, Mas". "Terus habisnya biasanya jam berapa?" "Jam tujuh..," jawabnya. "Ibu tinggalnya dimana?"
"Di Gubung, Mas." Gubug adalah kecamatan di wilayah Grobogan, Purwodadi. Butuh dua jam perjalanan untuk sampai ke lokasi. Hal ini dilakukannya lebih dari 10 tahun lamanya.
Dari ceritanya, ibu ini memiliki tiga putra. Semuanya kuliah dan ada yang sudah sarjana. Kesederhanaannya memikatku. Betapa besarnya Allah. Allahu Akbar! Betapa Mahaadilnya Allah. Betapa kasih dan sayangnya Allah pada hamba-hamba-Nya. Kasihnya tak pernah pilih kasih. Sayangnya tak pernah hilang ditelan zaman. Semua hambaNya diberi ketika mau berusaha tiap hari. Termasuk, ibu-ibu penjual nasi pincuk di pinggir jalan Kota Semarang ini.
Kita mestinya merasa malu (pada penjual nasi pincuk) karena kita suka menghambur-hamburkan uang. Kita malu karena uang Rp 3.000 ternyata begitu berarti. Kita malu, mengapa harus korupsi. Kita malu, mengapa harus markup proyek tiap hari. Kita malu mengapa harus demonstrasi dengan tuntutan yang terkadang basi. Kita malu mengapa harus "rebutan kursi".
Kita malu mengapa harus menuntut hak tanpa tahu diri. Kita pun malu mengapa tak pernah bersyukur atas kesehatan yang diberi. Ataukah jangan-jangan kita sudah tidak punya rasa malu? Termasuk pada diri sendiri? Maka, tepat sekali "peringatan" Allah dalam surah Ar-Rahman yang diulang berkali-kali, "Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?"
Inilah yang sering dilupakan oleh kita semua dalam menjalani kehidupan. Berkah itu hakikatnya "ziyadayul khoir", artinya bertambah kebaikan. Apa pun yang kita lakukan, jika menjadikan kebaikan kita bertambah, berarti ada nilai keberkahan di dalamnya. Demikian juga sebaliknya.
Boleh jadi penjual nasi pincuk dan tukang bubur itu memiliki saku keberkahan. Sehingga, apa pun yang masuk dalam saku itu akan bertambah terus kebaikan demi kebaikannya. Inilah yang menjadikannya semakin mudah dalam meraih apa yang diharapkannya. Mari kita renungkan firman Allah ini, "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi jika mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al-A'raaf: 96).
(sumber:Republika edisi Jumat, 27 November 2015 Hal. 12 Oleh Abdul Muid Badrun)
Post a Comment