Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, diceritakan, "Suatu hari Abu Bakar RA mendapatkan suatu makanan dari budaknya. Kemudian beliau pun memakannya. Setelah itu budak tersebut berkata, `Tahukah apa yang telah kamu makan?' Abu Bakar bertanya, `Apa itu?' Dia berkata, `Dulu aku pernah menjadi dukun untuk seseorang di masa jahiliyah. Sesungguhnya aku tidak pandai berdukun, tetapi aku mau menipunya. Dia menemuiku dan memberikan sesuatu kepadaku dan itulah yang engkau makan.' Maka Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam mulutnya dan memuntahkan seluruh yang ada dalam perutnya."

Sepenggal kisah Abu bakar RA di atas memberikan pelajaran dan keteladanan kepada kita untuk bersikap wara. Sikap Abu bakar RA yang memuntahkan makanan yang sudah dimakannya setelah dikabari bahwa makanan yang dimakannya itu merupakan hasil dari penipuan yang dilakukan budaknya merupakan bagian dari sikap wara.

Wara diambil dari kata yang terdiri atas huruf waw, ra, dan ain yang berarti `menahan', `mengepal'. Menurut bahasa, wara adalah menjaga kesucian, yaitu menahan diri dari yang tidak pantas.
Maka dikatakan tawara' jika seseorang merasa sempit.

Sedangkan, menurut istilah syariat, wara adalah meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati. Singkatnya, wara adalah menjauhi yang syubhat dan mengawasi yang berbahaya.

Dalam ajaran Islam, sikap wara menempati tempat yang tinggi lagi mulia. Ia bagian dari ketakwaan yang mana takwa tidak akan tercapai kecuali diiringi sikap wara. Rasulullah SAW bersabda, "Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat takwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."

Sebagian ulama membagi wara kepada tiga tingkatan. Pertama, meninggalkan yang haram, dan ini umum untuk seluruh manusia. Kedua, menahan diri dari yang syubhat, ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia. Ketiga, meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah dengan mengambil yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh.

Ketika seseorang telah sampai pada maqam wara, ia akan menjadi orang yang ahli ibadah. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qanaah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, engkau akan menjadi seorang Mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi Muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati." (HR Ibnu Majah).

Selain itu, terjaganya agama dan kehormatan. "Barang siapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya." (Syarh Muslim, 11: 28).

Upaya yang dapat dilakukan agar meraih sifat wara adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna dan meragukan. Imam al-Bukhari mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan RA, "Tidak ada sesuatu yang lebih mudah daripada sifat wara, tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Begitu juga terhadap hal di mana hati mengingkarinya." Ibnu `Asakir berkata, "Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."

(sumber:Republika edisi Senin, 7 Desember 2015 Hal. 1 Oleh Moch Hisyam)

Post a Comment

  1. Ini nih ternyata komplit penjelasan sifat wara suwun mas bos

    ReplyDelete

 
Top