Suatu waktu Abu Dzar al-Ghifari bertanya kepada Nabi. "Ya Rasulallah, mengapa kau tak memberi jabatan apa-apa kepadaku?" Sambil menepuk bahu sahabatnya yang zuhud itu, Nabi menjawab, "Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah." Sebagai amanah, sabda Rasulullah, jabatan kelak pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya (HR Muslim).

Sabda Nabi itu tidak hanya untuk Abu Dzar, tetapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi Nabi yang peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti.
Ada tiga kriteria pejabat (pemikul jabatan) yang tersembunyi dalam pesan di atas, yaitu: amanah, mengambil dengan benar, dan menunaikan dengan baik.

Kriteria di atas tidaklah sederhana. Sebab, pejabat dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekadar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh Alquran haruslah orang yang kuat dan terpercaya. "Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya," (QS al- Qashas (28) :26).

Kuat pada ayat di atas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Maksud amanah (dapat dipercaya) adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka, sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pejabat. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya.

Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan `Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer, padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Namun, ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan hadisnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.

Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas jabatannya dan kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka Alquran memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz), dan berpengetahuan (alim) (QS Yusuf (12) :54-55).

Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi, yaitu hafiz, artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadis yang lain: Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza)
atau menyia-nyiakannya. (HR Nasa'i dan Ibnu Hibban).

Syarat yang satu lagi, sifat al-'alim, artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pejabat dan pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Di sini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Zar tak diberi jabatan oleh Nabi.

Pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya, dan berpengetahuan (alim) tentang tugas jabatan dan kepemimpinannya.

(sumber:Republika edisi Senin, 14 Desember 2015 Hal. 1 Oleh Ahmad Agus Fitriawan)

Post a Comment

 
Top