Suatu sore selepas pulang kantor, HP berdering. Ketika saya angkat, terdengar suara parau seperti habis menangis. Ia bercerita tentang kehidupannya yang 2015 lalu seperti tidak pernah merasakan bahagia.

Padahal, ia orang kaya. Sibuknya luar biasa. Karyawannya banyak. Setiap butuh apa tinggal tekan tombol telepon, yang dimau datang. Semua serba ada dan dilayani.

Singkatnya, hidupnya sudah selesai secara materi. Namun, mengapa ia bercerita tak menemukan kebahagiaan di tengah tumpukan uang? Bukankah saat ini manusia sejagat bekerja keras untuk mendapatkan materi (uang)? Agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya?

Siapa pun dia, jika berkata "materi bukan segala-galanya", tapi memang segala-galanya membutuhkan materi bukan? Lalu, mengapa orang yang berkecukupan materi malah tidak pernah merasakan kebahagiaan? Bukankah hidup ini ujungnya adalah kebahagiaan? Surga itu metafora kebahagiaan. Jika kita mampu merasakan kebahagiaan, sejatinya kita sudah memasuki "surga".

Lalu, mengapa kita masih berharap pada surga yang sebenarnya? Hingga lupa pada Allah tujuan kita. Karena, kalau Allah tujuan kita maka surga akan kita dapatkan. Tapi, kalau hanya surga tujuan kita maka belum tentu kita dapatkan dan bertemu Allah.

Allah tujuan kita. Bukan surga. Bahagia adalah kendaraan kita menuju Allah. Kalau ibadah dirasakan sebagai kebahagiaan maka ibadah terasa lebih ringan dan indah. Jauh dari rasa terpaksa, berat, dan sulit dijalankan.

Seperti disinggung dalam Alquran, "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS adz-Dzaariyat: 56). Petani yang tiap hari pergi ke sawah, bisa merasakan "surga"-nya ketika jam makan siang tiba. Makan nasi tempe dan segelas air putih dinikmatinya setiap detik hingga benar-benar terasa nikmat dan lega.

Bandingkan dengan orang-orang kaya, yang setiap makan siangnya semua menu tersedia. Tapi ketika ia makan, yang diingat dan dipikirkan adalah urusan kantor sehingga tiap detiknya tidak merasakan kenikmatan makan.

Bukankah kenikmatan dan kebahagian hidup itu terasa ketika kita bisa menikmati setiap detik peristiwa yang kita alami. Makanlah ketika sedang makan. Tidurlah ketika sedang tidur. Bekerjalah ketika sedang bekerja. Jangan makan, tapi pikirannya bekerja. Tidur pikirannya makan. Dan, kerja pikirannya tidur.

Nikmatilah setiap detik kehidupan yang kita alami. Gunakan sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kemanfaatan hidup di dunia. Karena, tiap detik itulah sejatinya Allah berikan kesempatan pada kita manusia.

"Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal saleh, dan orang-orang yang nasihat-menasihati dalam kebaikan dan dalam kesabaran." (QS al-Ashr 1-3). Bahkan, Allah pun sampai bersumpah terkait betapa pentingnya detik demi detik yang kita alami ini adalah anugerah dan kesempatan kita sebagai hamba-Nya. Seperti tertuang dalam surah al-Fajr, al-Lail, ad-Dhuha, dan al-Ashr.

Mengapa? Agar setiap detik yang kita jalani tiap hari ini tidak berlalu begitu saja tanpa memberikan manfaat dan makna. Sehingga, kita tidak terjebak dalam kubangan duniawi semata seperti yang dialami teman penelepon tadi. Dengan begitu, kita akan benar-benar merasakan "surga" sebelum surga yang sebenarnya

 

(sumber:Republika edisi Selasa, 9 Februari 2016 Hal. 12 Oleh Oleh: Abdul Muid Badrun)

Post a Comment

 
Top