Harun ibn `Abdillah, seorang ulama ahli hadis yang juga pedagang kain di Kota Baghdad, bercerita: Suatu hari, saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk. "Siapa?" tanyaku.
"Ahmad," jawab orang di luar pelan.
"Ahmad yang mana?" tanyaku makin penasaran.
"Ibn Hanbal," jawabnya pelan.
"Subhanallah, itu guruku!" kataku dalam hati.
Maka, kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya. Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara.

"Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini?"
"Maafkan aku, ya Harun. Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadis selarut ini maka aku pun memberanikan diri mendatangimu.
Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi."
Aku terkejut. Sejak siang?
"Apakah itu, wahai guru?"
"Mmmmbegini!" Suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik.
"Siang tadi aku lewat di samping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadis-hadis sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan.
Lain kali, janganlah seperti itu, wahai Harun!
Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk!"
Aku tercekat, tak mampu berkata. Maka, beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati. Masya Allah!
Inilah guruku, Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasihat. Beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi, itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku di hadapan murid-muridku.

Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku. Bahkan, beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan agar tak ada anggota keluargaku yang terjaga. Lagi-lagi, demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.

Dari kisah di atas, kita bisa belajar bagaimana arifnya Ahmad bin Hanbal; seorang imam mazhab menyampaikan nasihat kepada muridnya sendiri. Nasihat bukan menunjukkan diri yang paling benar. Nasihat bukan untuk menunjukkan eksistensi diri atau arogansi.

Sering kali kita melupakan etika dalam menyampaikan nasihat. Nasihat hanya bisa diterima oleh hati yang benar-benar menginginkan kebaikan bagi orang yang dinasihatinya. Jika nasihat yang disampaikan hanya untuk mempermalukan diri orang lain, niscaya nasihat tak lebih hanya akan menjadi bibit kebencian dan permusuhan.

Teringat perkataan Imam Asy Syafi'i, "Nasihati aku saat sendiri, jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab, nasihat di tengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak maka maafkan jika hatiku berontak."

 
(sumber:Republika edisi Rabu, 13 April 2016 Hal. 12 Oleh Miftah Al-Banjary)

Post a Comment

 
Top