Guru adalah pemimpin. Layaknya seorang pemimpin, nilai utama yang harus dimiliki setiap guru adalah adil. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS An-Nahl: 90). Maka, tantangan terbesar seorang guru sebagai pemimpin adalah konsisten menegakkan keadilan.

Menurut Prof Yusuf Qaradhawi, adil adalah memberikan segala hal kepada yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, atau secara nilai apa pun, tanpa melebihi atau mengurangi sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan hak orang lain. Bagi guru, adil bukan perkara gampang. Sebab, tiap guru harus memenuhi hak-hak semua anak untuk belajar dan dididik dengan penuh kasih sayang.
Rasulullah SAW bersabda, "Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu." (HR Bukhari).

Guru bisa memaknai adil dalam arti sama (al-Musawat), yaitu perlakuan yang sama atau tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain. Guru memiliki anak didik cerdas yang cepat belajar, tak sedikit pula ada anak didik yang terlambat belajar. Ada anak didik yang baik perangainya, ada juga anak didik yang berperangai buruk. Tanpa sikap adil, guru akan cenderung menyukai anak didik yang cerdas dan berperangai baik.

Tanpa disadari, anak didik cerdas dan berperangai baik kerap mendapatkan pujian. Sebaliknya, anak didik yang terlambat belajar dan berperangai buruk sering mendapatkan teguran. Saat kedua kelompok anak didik ini berkonflik, sikap guru akan tampak berat sebelah, lebih condong memihak anak didik yang cerdas dan berperilaku baik. Jika hal ini terjadi, tindakan guru memang tak adil. Padahal, sejatinya guru harus bisa menetapkan suatu keputusan yang adil bagi semua anak didik (QS An-Nisa: 58).

Rasulullah SAW telah memberikan contoh bagaimana metode terbaik untuk menegur sekaligus memuji kapasitas para sahabat secara wajar dan proporsional. Memuji secara berlebihan berpotensi membuat anak didik menjadi tinggi hati. Sebaliknya, teguran yang berlebihan justru akan membuat anak didik makin berani melakukan tindakan keburukan dan hal-hal tercela. Di sinilah guru harus bersikap adil dalam mengatasi persoalan anak didik yang beragam dan kompleks.

Anak didik yang berperilaku tercela mesti ditegur sesekali saja. Cara menegur didasari rasa kasih sayang dan lemah lembut, bukan didorong rasa amarah akibat hawa nafsu yang tak terkendali. Rasulullah SAW memilih sikap tidak banyak melakukan teguran dan tidak banyak pula mencela sikap anak. Hal itu dilakukan beliau untuk menanamkan rasa malu serta menumbuhkan keutamaan sikap mawas diri di dalam jiwa anak.

Al Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya`Ulumuddin, memberikan nasihat kepada para pendidik, "Jangan Anda banyak mengarahkan anak didik Anda dengan celaan setiap saat karena sesungguhnya yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan. Akhirnya, ia akan bertambah berani melakukan keburukan, dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik selalu bersikap menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak didiknya. Untuk itu, janganlah ia sering mencelanya, kecuali hanya sesekali."

Keadilan guru tampak dari kesabarannya saat dia punya kewenangan. Guru tak boleh sewenang-wenang. Ujian terbesar seorang guru adalah bisa tulus ikhlas menyayangi anak didiknya, sama seperti menyayangi anaknya sendiri. Jika pun anak kandungnya menjadi salah satu anak didiknya dan berlaku salah, dia tetap menghukumnya sama seperti anak didik lainnya yang berbuat keliru. Jika itu dilakukan, keadilan bukan lagi jargon kosong. Inilah konsep keadilan yang sesungguhnya, adil bijaksana. Semoga kita bisa istiqamah untuk belajar menjadi guru adil dan bijaksana. Wallahu a'lam.

 

(sumber:Republika edisi Sabtu, 9 April 2016 Hal. 12 Oleh Asep Sapa'at)

Post a Comment

 
Top