Pada suatu hari Umar bin Khattab, Hudzaifah bin Al Yaman, dan Ali bin Abi Thalib bertemu di suatu tempat. Kemudian, Umar bertanya pada Hudzaifah bin Al Yaman, “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?”

Hudzaifah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin! Pagi ini aku mincintai fitnah, membenci al haq, shalat tanpa berwudhu, dan aku memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit.”

Mendengar jawaban seperti ini, Umar bin Khattab marah, “Demi Allah! Kamu membuatku marah!” Lantas Ali bin Abi Thalib yang dari sebelumnya mendengarkan perbincangan keduanya bertanya pada Umar, “Apa yang membuatmu marah, wahai Amirul Mukminin?”

''Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh Hudzaifah?” kata Umar. Ali bin Abi Thalib kemudian menjelaskan, “Wahai Amirul Mukminin! Sungguh benar Hudzaifah dan aku pun seperti dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah maksudnya adalah kecintaannya pada harta dan anak-anak, sebagaimana firman Allah, Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan.'' (QS al-Taghabun [64]: 15).

''Sementara, kebenciannya terhadap al haq, maksudnya adalah dia membenci kematian. Shalatnya yang tanpa wudhu itu adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan, yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Allah di langit adalah istri dan anak. Bukankah Allah tidak memiliki keduanya?”

Percakapan ketiga sahabat Nabi SAW ini mengajarkan kejelian kepada kita tentang hakikat sesuatu. Allah SWT menyebut harta benda yang kita miliki dan anak-anak yang berada di bawah tanggung jawab kita sebagai fitnah (ujian), jika kita bisa memperlakukan keduanya sesuai dengan ridha Allah kita termasuk orang yang lulus ujian.

Sebaliknya, ketika kita tidak bisa memperlakukan keduanya sesuai dengan yang diinginkan Allah maka kita termasuk orang yang tidak sanggup mengatasi fitnah dunia.

Oleh karena kecintaan kita terhadap fitnah, yakni pada harta dan anak-anak, serta kesenangan dunia lainnya, kita bisa membenci al haq, sesuatu yang kedatangannya sudah pasti, yaitu kematian, sebagaimana firman Allah, “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kepada Kami-lah kalian akan kembali.” (QS al-Anbiya: 35).

Sementara, maksud dari shalat yang tanpa wudhu adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Keduanya memiliki arti sama dalam arti bahasa, shalat artinya doa, shalawat pun maksudnya adalah berdoa untuk kebaikan Rasulullah SAW.

Sedangkan, yang dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh Allah adalah istri dan anak. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Surah al-Ikhlas ayat 3, “Tidak beranak dan tidak diperanakkan (tidak ada yang melahirkan-Nya).”

Percakapan seperti ini banyak memberikan manfaat kepada kita, di antaranya, pertama, mengasah otak kita karena percakapan seperti ini memerlukan kecerdasan ekstra bagi yang menyatakannya sekaligus bagi yang mencernanya.

Kedua, kesadaran diri bahwa kita sering tidak kuasa menghadapi fitnah (cobaan) yang diberikan Allah SWT kepada kita. Sehingga, kita bisa terjerumus dengan mencintainya secara berlebihan. Ketiga, penyucian terhadap Allah dengan menyadari perbedaan antara kita sebagai makhluk dan Allah sebagai khalik.

 

(sumber:Republika edisi Sabtu, 30 April 2016 Hal. 12 Oleh  Abdul Syukur)

Post a Comment

 
Top