Jemaah haji dinamai tamu-tamu Allah. Ini karena mereka datang ke Ka'bah, rumah-Nya guna memenuhi panggilan-Nya. Menarik untuk dicermati redaksi undangan Allah itu sambil membandingkan dengan perintah-Nya yang lain. Kewajiban salat, diungkapkan dengan Aqiimu as-shalat! (Laksanakan salat!), zakat dengan Aatu az-zakaat! (Tunaikan zakat!), puasa dengan Kutiba 'alaikum as-shiyaam (Diwajibkan atas kamu puasa). Tetapi haji dimulai dengan Walillahi 'alannas hijjul bait (Karena Allah diwajibkan atas manusia menuju Rumah Allah -- Q. S. 3: 97), Atimmu al-hajj wal-'umrata lillah (Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah -- Q. S. 2: 196).

Benar bahwa sahnya semua ibadah, adalah Lillah, karena Allah. Namun mengapa yang digarisbawahi hanya ibadah haji dan umrah? Boleh jadi karena haji adalah ibadah harta dan fisik, masa pelaksanaannya memakan waktu beberapa hari, sehingga godaan bisa silih berganti dan beragam. Ini pula sebabnya sehingga waktu persiapannya disediakan berbulan-bulan, Al-haj asyhurum ma'lumat (Q. S. 2: 197).

Pengundang Agung itu berpesan, ''Bagi mereka yang telah memantapkan niat untuk melaksanakan haji, maka sekali-kali jangan ia berucap cabul, melakukan kefasikan, dan berbantah-bantahan pada saat haji. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.'' (Q. S. 2: 197). Takwa bersemai di dalam hati, benih pertamanya adalah ketulusan, dan itulah makna kata Lillah di atas.

Seharusnya Lillah, menyertai tamu Allah, sejak terbetik keinginannya untuk berhaji. Namun kalau belum mantap, semoga ketika ia melangkahkan kaki ke luar rumah, dan kalau itu pun belum, maka sekali-kali jangan tidak ketika mengenakan pakaian ihram, sambil berucap Labbaika Allhumma Labbaik (Kuperkenankan panggilan-Mu, Ya Allah). Karena bila tidak, maka jangan menyesal bila sambutan-Nya dingin, atau pintu rumah-Nya tertutup sambil menuding sang tamu sebagai pembohong.

Bekal takwa dibutuhkan karena perjalanan sulit, gangguan tak sedikit, dan kepentingan saling berhimpit. Kalau bekal kurang, boleh jadi sang musafir kehabisan cairan dan ketika itu penyesalan tidak berguna. Namun jika niat tulus menyertainya, maka seperti ungkap Abu Yazid al-Busthami: ''...di tengah perjalanan ia akan melihat rambu-rambu di mana terdapat marabahaya, ia menemukan telaga-telaga air yang jernih, serta tempat-tempat peristirahatan yang teduh, bahkan tersedia pula kendaraan ar-Rahman, yang mengantarnya dengan damai menemui Allah SWT.'' Selamat jalan kepada para tamu Allah, semoga mendapat haji mabrur.


(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/11/27/16672-jemaah-haji)

Post a Comment

 
Top