Dalam percakapan sehari-hari, kata ''induk'' kerap digunakan untuk menyebut segala yang pokok, yang menjadi asal, dan paling utama dari segala sesuatu. Nabi Muhammad menyebut, ''Induk (ummahat) itu ada empat: induk obat, induk ibadah, induk etika, dan induk cita-cita.''

Induk obat, artinya yang paling utama dari segala obat adalah sedikit makan. Beliau memberi petunjuk, ''Tidak ada pekerjaan anak Adam mengisi penuh suatu bejana yang lebih jelek daripada mengisi penuh perutnya. Cukup kiranya beberapa suap untuk meluruskan punggungnya. Jika tidak boleh tidak harus diisi, isilah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk bernafas.'' (HR Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim).

Sabda Rasulullah jauh sebelum kemajuan ilmu kedokteran itu ternyata mirip pernyataan Karl Alexis, ahli bedah dan psikiater -- pemenang hadiah Nobel bidang kedokteran. Ia mengemukakan, ''Sungguh, makan banyak dan berlebihan itu dapat merusak fungsi (pencernaan) makanan. Padahal makan itu besar fungsinya bagi kelangsungan hidup. Karena itu perlu ada pengaturan pengurangan makanan.''

Induk ibadah adalah sedikit dosa. Dosa bisa menghilangkan nilai ibadah. Apalagi dosa terhadap sesama manusia. Banyak hadis dan ayat Alquran yang menyebutkan bahwa dosa karena tidak mengerjakan kewajiban sosial dapat menghilangkan makna ibadah mahdhoh (ibadah murni kepada Allah seperti salat), bahkan dapat meniadakan iman seseorang. Salah satu hadis itu berbunyi, ''Tidaklah beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.''

Hal itu mengisyaratkan bahwa dosa sosial berdampak lebih besar bagi stabilitas, keamanan, dan kesejahteraan manusia dalam berbagai sektor kehidupan. Negeri kita pernah dilanda kenaikan beberapa bahan pokok yang kemudian menimbulkan gejolak sosial, dan kekuatan politik pemerintah tidak bisa menanggulanginya. Salah satu sebabnya adalah karena dosa konglomerasi perdagangan yang berjalan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi yang rasional.

Induk etika adalah sedikit bicara. Bahkan dalam hadis lain Rasulullah menyebut, ''Diam itu ibadah paling tinggi'' (HR Ad-Dailami), ''Diam itu bijaksana'', serta ''Diam itu hiasan cendekiawan dan tirai bagi orang bodoh'' (HR Abu as-Syaikh). Tentu saja, itu maksudnya dalam konteks menjaga kewibawaan kebenaran ilmu agar tidak dibicarakan sembarangan. Bahkan Rasulullah menggelitik kita yang selalu doyan berbicara panjang: ''Diam itu bijaksana tetapi sedikit sekali yang mau melakukan'' (HR. Qana'ie dari Anas dan Ad-Dailami). Sudah tentu yang dimaksud adalah dalam soal yang tidak ada gunanya.

Dan terakhir, induk cita-cita adalah sabar. Kesabaran adalah tulang punggung dan basis utama bagi tercapainya cita-cita. Penelitian komparatif di Amerika antara anak-anak yang memiliki daya tahan emosi (baca: sabar) dengan anak yang memiliki kepandaian dan kecerdasan yang baik (baca: IQ) membuktikan bahwa -- 15 tahun kemudian (setelah anak-anak itu dewasa) -- ternyata anak-anak yang memiliki daya tahan emosi lebih berhasil menjalankan karier hidupnya daripada mereka yang memiliki IQ tinggi. Karena itu Allah menganjurkan. ''Mintalah kamu pertolongan dari sabar dan salat!'' (Al-Baqoroh:45) Kembali, ajaran agama kita terbukti kebenarannya secara ilmiah. Mari kita coba!


(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/11/28/16947-induk-kesuksesan)

Post a Comment

 
Top