Siapa tak kenal dia. Tahun 1980-an, bersama-sama pebulutangkis Indonesia lainnya, Liem Swie King, Hastomo Arbi, Kartono dan lain-lain, Icuk Sugiarto menjadi legenda bulutangkis Indonesia. Pria kelahiran 4 Oktober 1962 ini di tahun 1983 menjadi juara dunia. Kini, selain menjabat sebagai ketua Pengurus Daerah Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) DKI Jakarta, ia juga dipercaya sebagai salah satu staf Menpora Adhyaksa Dault.

Namun, bukan popularitas yang membuatnya merasa hidup saat ini. Ia menjadi tercerahkan setelah sejak beberapa tahun yang lalu, dari satu tempat ke tempat lain, ia menyambangi para atlet sepuh, sebagai bagian dari tugasnya sebagai seorang staf menteri. Mereka yang dulu berjaya membawa nama negeri, kini kadang hanya untuk keperluan makan pun sangat sulit, ujarnya.

Dari sana, Icuk banyak merenung. Ia merasa hidupnya selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. ''Makna hidup bagi saya adalah pengabdian. Jadi, kita harus bisa bermanfaat buat orang banyak,'' ujarnya kepada Republika di sela-sela Kejuaraan Thomas dan Uber Cup di Jakarta belum lama ini.

Kalau kita mau hidup, ujar ayah pebulu tangkis Tommy Sugiarto ini, maka harus berarti, harus jadi ahli manfaat buat orang banyak. ''Minimal bagaimana bisa dimulai dari lingkungan keluarga kita, kemudian lingkungan komunitas luar rumah kita. Terus bagaimana bisa bermanfaat buat di daerah kita terus pada akhirnya kita baru berbicara bagaimana kita bisa bermanfaat bagi bangsa ini,'' tuturnya panjang.

Icuk menuturkan, kesadaran dirinya membantu teman-teman sesama atlet yang senior-senior yang tidak mapan lagi sekitar empat tahun yang lalu. ''Saya didatangi salah satu adik kelas saya dari cabang olahraga senam yang datang ke rumah saya yang mengadu akan diusir dari rumah kontrakannya mau karena tidak mampu membayar sewa, katanya.

Ia tergugah. Ia melemparkan wacana untuk membantu para mantan atlet yang telah sepuh. Banyak yang menoleh pada idenya, tak sedikit yang mencibir. Namun ia jalan terus. ''Alangkah bahagianya kita bisa berkumpul lagi, istilahnya mengingat-ingat masa lalu, kita sama-sama berjuang, sekarang sudah ada yang punya perusahaan. Yang dulu pernah sama-sama dalam satu barisan dalam satu defile pasukan seperti di Asian Games maupun di SEA Games, tapi hidupnya masih memprihatinkan. Nah, siapa lagi yang mau memperjuangkan nasib mereka kalau kita saja yang pernah dalam satu barisannggak mau meneriakkan. Apalagi orang lain. Ini yang melatarbelakangi saya tergugah.

Padahal bagi para mantan atlet, dukungan tak harus berbentuk materi. Disambangi, dirangkul, ...itu saja sudah membuat batinnya sejahtera, tambahnya. Hal itu, kata dia, sesungguhnya adalah wujud dari nilai-nilai agama. Bahkan sekadar senyumpun bermakna sedekah, asal dilakukan dengan ikhlas bukan? kata dia. Ia yakin semua agama mengajarkan hal yang sama.

Kini Icuk membentuk Yayasan Atlet untuk membantu mereka. Ia berkeiningan seluruh atlet di Indonesia menjadi satu keluarga. Yang saya usung di dalam organisasi ini bagaimana kita selalu berbicara dalam bahasa Merah Putih. ''Jadi, tidak ada sekat. Kalau bahasa kita Merah Putih, tidak membeda-bedakan dari cabang apa. Itulah yang akan saya kembangkan ke depan, ujarnya.


(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/07/13/111-icuk-sugiarto)

Post a Comment

 
Top