Ramadhan telah berlalu. Hari-hari indah yang penuh rahmat, berkah, dan maghfirah itu telah lewat pula. Namun, apakah kita harus mengakhiri pula tujuan ibadah itu, yakni untuk mencapai derajat muttaqien (orang-orang yang takwa)? Apakah untuk mencapai muttaqien hanya diperoleh lewat Ramadhan? Dan apakah kita sudah cukup merasa puas kalau kita memasuki Idul Fitri sebagai pemenang dan terlahir kembali sebagai bayi yang baru lahir?
Untuk mencapai derajat muttaqien seperti yang diwajibkan Allah lewat puasa (Q. S. 2:183) bukan semata-mata hanya diperoleh di bulan Ramadhan. Bunyi ayat tersebut (Q. S. 2: 183) memang mewajibkan kita berpuasa (Ramadhan) untuk mencapai takwa. Namun, perlu diingat bahwa ada puasa-puasa maupun ibadah-ibadah lain yang juga dapat mengantarkan kita menjadi muttaqien.
Bukankah untuk mencapai ketakwaan (di bulan Ramadhan) itu kita peroleh karena kita melakukan berbagai amalan, di antaranya qiyamul lail, zikir, doa, tilawah Quran, infak, i'tikaf, istighfar, dan amalan saleh lainnya? Jadi untuk mencapai derajat muttaqien tidak cukup hanya dilakukan lewat puasa Ramadhan sebulan penuh sementara amalan-amalan lain terbengkalai.
Karena itu setelah kita berhasil menjalani ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh, sudah seharusnya meneruskan amalan-amalan yang kita lakukan selama bulan Ramadhan itu pada bulan-bulan lainnya. Sebagai misal, setelah berpuasa wajib, kita masih bisa menjalani puasa sunat, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Syawwal, puasa pertengahan bulan di bulan-bulan hijriah, dan sebagainya.
Kita boleh pilih puasa mana yang ingin kita jalani. Selain itu, kita juga bisa bersedekah memberi makan orang lain, misalnya kepada fukara dan masakin, atau menjamu orang yang berpuasa sunat di masjid-masjid, musalla-musalla, atau di rumah kita? Bukankah orang yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, pahalanya sama dengan yang berpuasa?
Di samping itu, kita juga bisa mengkhatamkan Alquran sebulan sekali kalau kita mau melakukannya. Kita bisa memperbanyak doa, zikir, istighfar, dan bersabar di tengah-tengah kesibukan kita. Bahkan, kita bisa menyisihkan waktu malam kita untuk sekadar salat qiyamul lail.
Singkatnya, kita bisa melakukan semua amalan yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan pada bulan-bulan lain. Ramadhan biarlah berlalu. Namun janganlah kita lewatkan pula hari-hari pada bulan lain dengan tidak mewarisi amalan-amalan Ramadhan. Kita harus mengupayakan hari-hari sepanjang tahun adalah seolah-olah Ramadhan.
Alangkah indahnya hidup ini manakala banyak di antara kita yang menghidupkan Ramadhan sepanjang tahun. Bukankah kita semua ingin mencapai derajat takwa selama hayat masih di kandung badan? (ah)
(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/09/29/5493-warisan-ramadhan)
Post a Comment