Di samping sebutan makhluk yang berbicara, manusia juga dikenal sebagai makhluk yang tertawa. Tawa dan senyum bersifat asasi, muncul sejalan dengan kemanusiaan kita. Ia menjadi ''bahasa'' komunikasi dalam keseharian hidup kita. Begitu dekatnya tawa dengan kita, hingga orang yang hilang akal sekalipun masih tetap bisa tertawa. Alquran menyatakan: ''Dan bahwasannya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis'' (QS, 53;43). Banyak peristiwa sosial dalam panggung sandiwara kehidupan yang membuat kita tertawa. Kejelekan, kemalangan, penyimpangan perilaku, kelucuan, sindiran, hal yang tak masuk akal, hingga kekonyolan diri kita sendiri, mudah berubah menjadi bahan tertawaan. Dalam konteks Islam, tawa harus diletakkan secara ''pas''. Tawa yang islami bukanlah menertawakan kemalangan orang lain, karena memang tidak dibenarkan, melainkan tawa yang tetap berada dalam batas-batas kesopanan dan kebenaran.

Dalam konsep Islam tawa dipandang bukan sekadar pintu ''pelepasan'' dari ketegangan. Tapi ia juga dianggap sebagai ungkapan sosial dari rasa cinta, kegembiraan, dan kebersamaan. Malah Allah memperingatkan bahwa mereka yang tidak mau ''bersama-sama'' berjihad di jalan Allah bersama Nabi, hendaklah tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai balasan dari apa yang mereka kerjakan (QS, 9:82). Dalam hadis riwayat Thabrani diceritakan bahwa Nabi Muhammad senang tertawa dan bersenda gurau. Tapi Nabi tidak akan melakukan sesuatu hal melainkan yang hak. Nabi Sulaeman juga begitu sering tertawa. Salah satu tawa sang nabi yang diabadikan dalam Alquran adalah ketika beliau mendengar teriakan seekor semut yang mengomandoi kawan-kawannya untuk masuk sarang agar tidak terinjak Nabi Sulaeman dan bala tentaranya. (QS, 27:19).

Berbagai penelitian ilmiah menyimpulkan bahwa tertawa memperkokoh kesehatan. Ketika kita tertawa, otak kita mengalami relaksasi. Pikiran kita menjadi segar kembali. Dan kita siap menghadapi tugas-tugas hidup berikutnya. Hidup memang mesti dijalani dan dimaknai dengan sebaik-baiknya. Namun tanpa mengurangi hal tersebut, hidup juga berarti panggung komedi (laibun wa lahuwun). Alquran mengatakan hidup hanyalah permainan dan senda gurau. Lalu mengapa kita mesti tegang, putus asa, dan hendak bunuh diri ketika kita gagal meraih sesuatu? Tidakkah lebih baik kita tertawa dan tetap tawakal?

Walhasil, dalam perjuangan hidup, kita percaya bahwa hidup menjadi lebih meriah kalau kita tetap bisa tertawa. Tawa menjadi makanan jiwa kita. Menyentuh sisi emosionalitas setiap diri. Tanpa tawa hidup menjadi gersang, kemanusiaan menjadi tandus dan rasa menjadi tumpul. Karena itu bermurah hatilah untuk tertawa. Tawa yang wajar membuat hati menjadi senang. Lebih dari itu, tawa yang disertai pengingatan kepada Allah membuat hati menjadi tenang. (ah)



(sumber:http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/08/10/14/7409-tertawa)

Post a Comment

 
Top