"Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat". (Q.S. Al-Fatihah [1] : 6-7)

Surat Al-Fatihah, merupakan surat pembuka dalam rangkaian surat-surat dalam Al-Quran. Surat ini disebut juga Ummul Kitab; yaitu Induk surat dalam Al-Qur'an. Disebut Induk Kitab karena surat tersebut mencakup inti ajaran Islam. Surat tersebut menjadi salah satu syarat sahnya shalat, jika seorang muslim shalat tanpa membaca Al-Fatihah. Maka shalat yang ia lakukan tidak sah.


Jika kita perhatikan, ada hal yang menarik dari ibadah shalat. Kita ketahui, hampir seluruh rangkaiannya merupakan untaian-untaian do'a, mulai dari takbiratul Ihram hingga diakhiri dengan salam. Shalat memberi ruang yang begitu intim antara seorang hamba dengan Allah `azza wa jalla sebagai sang Khaliq untuk bertaqarrub. Namun tahukah kita, diantara rangkaian do'a-do'a tersebut hanya do'a di atas dalam ibadah shalat yang secara langsung di-aminkan.


Do'a-do'a di dalam shalat dibaca minimal tujuh belas kali dalam sehari, termasuk do'a di atas. Do'a tersebut merupakan petikan dari surat Al-Fatihah ayat ke 6-7. Do'a tersebut sudah barang tentu dibaca, karena ia berada diantara susunan ayat dalam surat Al-Fatihah. Seorang yang membaca surat tersebut dalam shalatnya, maka wajib mengaminkan. Begitu juga bagi makmum yang mendengar Imam membacanya.


Keistimewaan do'a tersebut bukanlah sebuah kebetulan. Ada permintaan yang begitu penting dalam do'a tersebut. Yaitu meminta petunjuk Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). "Tunjukilah Kami jalan yang lurus".


Pertanyaannya adalah, apakah selama ini kita tidak mendapat hidayah sehingga harus meminta hidayah di setiap kali shalat? Padahal, kita mengucapkan do'a tersebut dalam keadaan mendapat hidayah. Karena sejatinya, orang yang tidak mendapatkan hidayah tidak akan melakukan shalat.


Memahami Hidayah dan Pembagiannya

Ahli Tafsir dalam hal ini membagi hidayah dalam beberapa kategori;

Pertama, Hidayatul Ghariziyyah: yaitu petunjuk dari Allah berupa insting alamiyah. Hidayah ini Allah `azza wa jalla berikan bukan hanya kepada manusia, namun juga makhluk selainnya. Salah satu contoh dari  Hidayah Ghariziyyah adalah tangisan seorang bayi, dengan tangisan bayi tersebut Allah `azza wa jalla memberikan hidayah kepada manusia untuk mengetahui apa yang diinginkan seorang bayi. Padahal, tidak seorang pun yang mengajari menangis bayi-bayi di dunia ini. Berkat Hidayah Ghariziyyah tersebut, seorang ibu bisa mengetahui bahwa bayinya sedang lapara atau menginginkan hajat yang lain.


Kedua, Hidayatul Hawwas; yaitu petunjuk dari Allah `azza wa jalla berupa panca indera. Hidayah ini Allah `azza wa jalla berikan kepada manusia dan hewan-hewan yang ada di muka bumi ini. Dengan panca indera tersebut, manusia  bisa membedakan mana suara yang lembut dengan suara yang keras. Dengan indera pengecap, hewan-hewan bisa membedakan antara makanan yang lezat dengan sesuatu yang tidak bisa dimakan, bisa membedakan udara yang dingin dengan udara yang panas dan sebagainya.


Dengan Hidayatul Hawwas, Allah `azza wa jalla memberikan petunjuk agar manusia dan hewan bisa memilih sesuatu yang bisa memberikan kemaslahatan bagi hidupnya dengan bantuan panca indera.


Ketiga, Hidayatul 'Aql; yaitu petunjuk dari Allah `azza wa jalla berupa akal pikiran. Hidayah Allah `azza wa jalla berikan khusus kepada manusia. Dengan hidayah akal pikiran ini, manusia diberikan petunjuk agar mengembangkan kemaslahatan hidup. Dengan akal pikiran, manusia diberi petunjuk  oleh Allah hingga bisa menciptakan alat transportasi tercepat berupa kapal terbang yang bisa menandingi kecepatan burung-burung yang bersayap. Dengan petunjuk akal pikiran, manusia senantiasa bisa menciptakan alat-alat lainnya dalam memenuhi kemaslahatan hidupnya.


Keempat, Hidayatu Ad-din; yaitu petunjuk dari Allah `azza wa jalla berupa ajaran-ajaran agama yang diwahyukan melalui para Nabi-Nya sebagai kabar gembira untuk menjadi panduan dalam kehidupan di dunia. Tanpa hidayah ini, ketiga hidayah  di atas tidak mampu berdiri sendiri tanpa bimbingan dan tuntunan dari hidayah agama ini.


Hidayatu Ad-Din ini terbagi kepada dua klasifikasi;
Pertama, Hidayatul Irsyad wal Bayan; yaitu petunjuk berupa pemahaman yang benar tentang aturan-aturan agama.
Kedua, Hidayatu At-Taufiq wal-ilham; yaitu petunjuk berupa kemampuan dalam menjalankan aturan-aturan agama tersebut.


Menuju Jalan Yang Lurus
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu 'Abbas bahwa makna shirathal mustaqim adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang sahabat lain. Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah kebenaran.


Dalam konteks do'a di atas, maka kita pahami bahwa yang dimaksud hidayah tersebut adalah hidayah agama Islam. Memohon kepada Allah `azza wa jalla agar kita senantiasa diberi petunjuk berupa pemahaman agama Islam yang benar serta diberi kemampuan di dalam menjalankannya. Itulah shirath Al-Mustaqim.


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah mengatakan, "Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan yang seperti mereka."


Hidayah tentu tidak akan datang dengan sendirinya, namun perlu proses dan perjuangan dalam meraihnya.


Beberapa cara yang diajarkan oleh para ulama agar hidayah itu datang menghampiri, di antaranya: banyak berdo'a kepada Allah agar ditetapkan dalam Islam, menuntut ilmu syar'i, bergaul dengan orang shalih, menjaga ibadah wajib dan sunnah. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Amin. Wallahu a'lam.


 (Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.43 Thn.XL, 20 Dzulhijjah 1434 H/25 Oktober 2013 Oleh Alan Ruslan Huban)

Post a Comment

 
Top