"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
(Q.S. Faathir [35] : 28)

Suatu ketika Imam Syafi'i berkeluh kesah tentang sebuah masalah kepada gurunya, yang sering dipanggil Syaikh Waqi. Imam Syafi'i mengadu bahwa dirinya sangat susah dalam menghafal. Terutama, ketika beliau menghafal Al-Qur'an. Syaikh Waqi-pun menjawab, "Tinggalkanlah maksiat. Ketahuilah bahwa ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang gemar bermaksiat".


Setelah itu, Imam Syafi'i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur'an (hafalan Al-Qur'annya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.


Siapapun manusia pastilah tidak pernah lepas dari salah dan alpa. Termasuk dalam hal ini, sekelas imam madhzab pun bisa jadi pernah melakukan maksiat. Walaupun itu di lakukan tanpa ada unsur kesengajaan. Namun, sekali lagi siapapun tidak pernah luput dari kesalahan. Tak mengerankan bila di dalam Al-Qur'an manusia disebut dengan an-nass yang berasal dari kata nasiya-yansa yang bermakna lupa.


Manusia sebagai makhluk Allah `azza wa jalla yang paling sempurna diberikan akal. Akal inilah yang membedakannya dengan hewan dan makhluk yang lainnya. Melalui akal manusia mudah menyerap ilmu. Menurut Imam Ibnu Jauzi, salah satu fungsi akal ialah untuk memahami khitab dan taklif (perintah dan tugas) dari Allah `azza wa jalla. Melalui cara melakukan transformasi ilmu yang terus menerus, membebaskan akalnya dari dominasi nafsu, serta memfungsikannya secara tepat, manusia dapat mencapai puncak prestasinya yang secara nilai menempati kedudukan yang paling mulia. Allah `azza wa jalla berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengenal". (Q.S. Al-Hujurat [49] : 13)


Al-Qur'an memberikan berbagai gelar mulia dan terhormat kepada orang berilmu yang menggambarkan kemulian dan ketinggian kedudukannya di sisi Allah
dan makhluk-Nya. Antara lain:
"al-Raasikhun fil Ilm" (Q.S.  Ali Imran [3] : 7),
"Ulul al-Ilmi" (Q.S. Ali Imran [3] : 18),
"Ulul al-Bab" (Q.S. Ali Imran [3] : 190),
"al-Bair" dan "as-Sami' (Q.S. Hud [11] : 24),
"al-A'limun" (Q.S. al-Ankabut : 43),
"al-Ulama" (Q.S. Fatir : 28),
"al-Ahya' " (Q.S. Fatir : 35)
dan berbagai nama baik serta gelaran mulia lain. Atas dasar itulah para ulama menegaskan menuntut ilmu sebagai usaha mulia yang layak memperoleh balasan mulia pula.


Bencana Maksiat

Selanjutnya, agar ilmu  yang dimilikinya dapat mengantarkan posisi puncak dihadapan Allah `azza wa jalla, sang penuntut ilmu harus menghiasi dirinya dengan etika. Tegasnya, harus dilaksanakan secara etis, baik dalam menuntut ataupun dalam memanfaatkannya antara lain tidak melakukan maksiat dalam pencarian dan pengamalannya. Sebab kemaksiatan akan berimplikasi sangat tragis terhadap pelakunya.


Disebutkan dalam sebuah riwayat, Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan "ar-raan" yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), 'Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka'."(H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Setiap maksiat membuat hati tertutup noda hitam dan lama kelamaan hati tersebut jadi tertutup. Jika hati itu tertutup, apakah mampu ia menerima berkas cahaya kebenaran? Sungguh sangat tidak mungkin. Inilah yang akan dialami ketika orang gemar bermaksiat, terlebih lagi bagi penuntut ilmu, karena hatinya sudah tertutup dengan maksiat tersebut.


Imam Mujahid berujar, "Hati itu seperti telapak tangan. awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari."


Nasib paling tragis yang dialami manusia ialah lupa pada eksistensi dirinya sendiri sebagai akibat logis dari sikapnya yang gemar bermaksiat. Maksiat dapat melemahkan hati dari kebaikan. Dan sebaliknya, akan menguatkan kehendak untuk berbuat maksiat yang lain. Maksiat pun dapat memutuskan keinginan hati untuk bertaubat. Inilah yang menjadikan penyakit hati paling besar, kita tidak bisa mengendalikan hati kita sendiri. Hati kita menjadi liar mengikuti jejak maksiat ke maksiat yang lain. Jika sudah seperti itu, hati kita akan melihat maksiat begitu indah. Tidak ada keburukan sama sekali.


Jika orang sudah terbiasa berbuat maksiat, ia tidak lagi memandang perbuatan itu sebagai sesuatu yang buruk. Tidak ada lagi rasa malu melakukannya. Bahkan, dengan rasa bangga ia menceritakan kepada orang lain dengan detail semua maksiat yang dilakukannya. Dia telah menganggap ringan dosa yang dilakukannya. Padahal dosa itu demikian besar di mata Allah `azza wa jalla.


Hati yang Bersih


Kita hidup di dunia ini sebenarnya sebenarnya bagaikan seorang pedagang. Pedagang yang cerdik tentu akan menjual barangnya kepada pembeli yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Siapakah yang sanggup membeli diri kita dengan harga tinggi selain Allah? Allah-lah yang mampu membeli diri kita dengan bayaran kehidupan surga yang abadi.


Mendapatkan surga Allah tentu tidaklah mudah. Tidah hanya dengan janji-janji belaka, tapi perlu direfleksikan dengan ilmu dan hati yang bersih. Allah`azza wa jalla berfirman, "(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih" (Q.S. Asy-Syuara [26] : 88 -  89)


Syaikh As-Sa'di menjelaskan dalam tafsirnya Taisir Karimirahman, "Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta terbebas dari kecintaan kepada dosa atau perilaku terus-menerus berkubang dalam maksiat". Hati yang bersih inilah yang akan mendapatkan jaminan. Hati yang selalu diisi dengan ketaatan dan ketaqwaan bukan dengan maksiat dan kealpaan. Wallahu A'lam

(Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.22 Thn.XL, 21 Rajab 1434 H/31 Mei 2013 M Oleh Muttaqin Salam)

Post a Comment

 
Top