"(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang - orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih."
(Q.S. Asy-syu'ara [26] : 88 - 89)
Keturunan atau nasab seseorang tidak lagi bermanfaat kelak pada hari kiamat. Ayat di atas merupakan penggalan doa yang diucapkan nabi Ibrahim 'alahissalam yang diabadikan Allah dalam Al-Qur'an.
Sayyid Qutbh menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa nabi Ibrahim 'alahissalam menyadari hubungan kerabat bukan lagi jaminan kerabat nasab, namun yang benar kerabat akidah. Inilah salah satu norma tarbiyah Islamiyah yang jelas. Betapa khawatirnya nabi Ibrahim 'alahissalam terhadap kedahsyatan dari kiamat. Padahal ia adalah seorang nabi yang mulia. Lalu bagaimana dengan kita?. Di hari kiamat kelak, nasab bukan merupakan faktor yang bisa menentukan nasib seseorang. Anak dari orang yang shalih pasti akan selamat, dan anaknya penjahat pasti mendapat laknat. Di akhirat selamat atau tidak, yang paling berpengaruh bukanlah amal saja, tetapi rahmat Allah. Meskipun anak dari seorang manusia yang terpandang dan bangsawan, tapi dirinya termasuk yang layak mendapat siksa, status keturunan ini tidak akan berguna. Atau sebaliknya, seburuk apapun kedua orang tua, jika dirinya sendiri memang layak untuk selamat, buruknya nasab sedikit pun tidak akan mempengaruhinya.
Termasuk Para Nabi
Tidak hanya manusia biasa, bahkan ini juga berlaku bagi keturunan Nabi sekalipun. Memang benar, ahlul bait Rasulullah memiliki keutamaan. Tapi keutamaan ini didapatkan bukan karena faktor kekerabatan dan keturunan, tapi karena iman dan ketaatan.
Jika dua hal itu ada, maka status sebagai ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Wahai orang - orang Quraisy belilah diri kalian sendiri, saya tidak membantu sedikitpun dari adzab Allah `azza wa jalla wahai Shofiyah bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saya tidak bisa membantu sedikit pun dari adzab Allah `azza wa jalla, wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah harta sebanyak apapun dariku, saya tidak bisa membantu kamu sedikitpun dari adzab Allah". (H.R. Bukhari)
Bahkan jauh - jauh sebelumnya Allah telah menjelaskan kepada para nabi sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa anak, istri dan keluarga mereka tidak akan selamat dari adzab Allah `azza wa jalla, jika mereka tidak mau tunduk dan taat kepada perintah Allah `azza wa jalla Kita dapatkan umpamanya nabi Nuh 'alahissalam ketika memohon dispensasi kepada Allah `azza wa jalla untuk menyelamatkannya dari adzab Allah `azza wa jalla, permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh Allah `azza wa jalla, karena itu sudah peraturan Allah bahwa seseorang tidak bisa menyelamatkan orang lain, walaupun itu anak, istri dan kerabatnya, kecuali dengan amal perbuatannya.
Allah `azza wa jalla berfirman, "dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata : "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau itulah benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil - adilnya." Allah berfirman : "Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukan termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekatnya). Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang - orang yang tidak berpengetahuan." (Q.S. Huud [11] : 45 - 46)
Larangan Berbangga dengan Nasab
Dalam ayat di atas meskipun secara tidak langsung, Allah `azza wa jalla melarang seorang muslim untuk berbangga - bangga dengan nasab dan keturunan, serta banyaknya harta. Dan hendaknya setiap muslim tidaklah usah terlalu bangga dengan kedudukan dan kekayaan yang dimiliki orang tuanya. Karena yang diperhitungkan di sisi Allah adalah keimanan, akhlak serta ilmu. Dalam hal ini Imam Ali bin Abu Thalib pernah menyebutkan sebuah syair, "Barang siapa yang bangga dengan banyaknya harta dan nasab, maka sesungguhnya kebanggaan kami hanya dengan ilmu dan akhlaq. Tiada suatu kebaikan bagi seseorang yang merdeka jika tidak mempunyai akhlaq yang mulia, walaupun dia dari keturunan Arab."
Dan diantara sifat orang - orang jahiliyah Arab dahulu adalah kesombongan mereka dengan nasab dan merendahkan nasab orang lainnya. Oleh karena itu, patutlah untuk dijauhi perbuatan yang seperti ini kerena tidak mencerminkan seorang yang beriman. Termasuk dalam hal ini adalah tradisi di beberapa daerah yang menjodohkan anak - anak mereka dengan golongan yang 'selevel' dengan mereka. Dengan dalih, bahwa masa depan dan rezeki anak - anak mereka tergantung dengan pasangan yang dinikahinya. Ini sungguh perbuatan yang keliru, karena setiap individu sudah ada ketentuannya masing - masing harta dan jodohnya. Tidak satu manusia pun yang dapat mengaturnya kecuali memang atas kehendak Allah. Rezeki seorang hamba telah dijamin oleh Allah. Porsi dan takarannya juga telah ditetapkan.
Hati yang Selamat
Para ahli tafsir, diantaranya Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa maksud hati yang selamat dalam ayat di atas adalah hati yang bersih dari keraguan dan kemusyrikan. Disebutkan dengan kata "hati" karena hati penentu amal seseorang. Tatkala hatinya selamat sebagaimana yang disebutkan dalam hadits nabi. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengisyaratkan bahwa baiknya amalan badan seseorang dan kemampuannya untuk menjauhi keharaman, juga meniggalkan perkara syubhat (yang masih samar hukumnya), itu semua tergantung pada baiknya hati. Imam Adh-Dhahak menjelaskan, hati yang selamat adalah hati yang ikhlas. Yaitu hati yang selamat dari sifat - sifat yang tercela dan terkumpul didalamnya sifat - sifat yang mulia.
Oleh karena itulah, betapa pentingnya menjaga hati ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam acapkali berdo'a, "Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi 'alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak - balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)." Ummu Salamah 'alahissalam pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kenapa do'a tersebut yang sering beliau baca. Nabi pun menjawab, "Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari - jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya." (H.R. Tirmidzi no.3522)
Jadi sekali lagi, nasib masing - masing orang tergantung kepada rahmat Allah dan keshalihan dirinya. Bagaimana ia berusaha untuk selalu menjaga kebersihan hati dan keimanannya kepada Allah itulah yang akan dinilai. Bukan kepada baik dan buruk keturunan dan nasabnya. Allah `azza wa jalla berfirman, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Q.S. Al-Zalzalah [99] : 6 -8).
(Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.42 Thn.XL, 13 Dzul Hijjah 1434 H/18 Oktober 2013 M Oleh Muttaqin Salam)
Post a Comment