"Umur umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, dan sedikit orang yang melampui usia itu." (H.R. Tirmidzi, beliau berkata, hadits hasan shahih)

Demi menjalani misi mulia di dunia, juga meraih kenikmatan tak terkira di akhirat, tidak banyak waktu yang tersedia untuk manusia. Seperti yang sering kita dengar dan saksikan, rata-rata umur manusia zaman ini berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.

Begitulah jika dihitung umur rata-rata, sedangkan secara personal, bahkan masing-masing tidak tahu berapa lama nantinya ia akan dijatah  ajal hidup di dunia.

Silih bergantinya hari dan bulan adalah suatu kebahagian tersendiri bagi setiap muslim. Betapa tidak, Allah `azza wa jalla telah melimpahkan berbagai rahmat dan kemurahan-Nya kepada umat Islam, berupa kebaikan dan amalan sholih yang disyari'atkan pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu.

Dalam sepekan misalnya, ada hari Jum'at yang padanya terdapat sejumlah keutamaan, ada Senin dan Kamis yang merupakan waktu puasa sunnah yang telah dimaklumi keutamaannya.

Demikian pula di berbagai bulan ada sejumlah keutamaan padanya, seperti bulan Ramadhan, bulan Dzul Hijjah, Sya'ban dan lain-lainnya. Maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk mengenal dan mengetahui apa yang dituntunkan agamanya di saat menyongsong bulan-bulan tersebut agar kehidupannya, insya Allah menjadi suatu yang sangat berarti dan penuh kebahagian di dunia dan akhirat.

Menyongsong bulan Sya'ban ada sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa'i, dari Usamah bin Zaid ra, ia bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau sering berpuasa di bulan Sya'ban, melebihi bulan-bulan lainnya? Nabi pun menjawab, "Bulan Sya'ban sering dilupakan oleh manusia yaitu bulan di antara Rajab dan Ramadhan. Dibulan Sya'ban amal diangkat ke sisi Allah Rabbul Alamin. Maka, aku sangat suka jika amalku diangkat, aku dalam keadaan berpuasa." (H.R. Nasa'i I/322).

Salah satu amal ibadah yang dianjurkan dalam bulan Sya'ban adalah berpuasa sunnah. Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita perhatikan seputar pelaksanaan puasa sunnah dalam bulan Sya'ban.

Pertama, mengadha hutang hutang puasa terlebih dahulu. Bagi mereka yang masih mempunyai tanggungan puasa Ramadhan tahun sebelumnya, mungkin karena perjalanan (safar), sakit atau secara umum bagi kaum wanita, maka bulan Sya'ban ini waktu yang tepat untuk segera melunasinya.

Hal ini juga menjadi pertanda komitmen kita dan kesiapan untuk kembali menjalani puasa Ramadhan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, bagaimana Aisyah binti Abu Bakar ra, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun biasa mengganti hutang puasanya di bulan Sya'ban, karena kesibukannya dalam membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, memperbanyak puasa sunnah dan tidak menyempurnakannya. Setelah menyelsaikannya kewajiban, maka dianjurkan bagi kita untuk memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya'ban. Namun, tidak menyempurnakannya atau menggenapinya hingga satu bulan penuh.

Sebagian ulama di antaranya Ibnu Al Mubarak  dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyempurnakan puasa pada bulan Sya'ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh begitu jelas pada kita betapa beliau lebih mengintensifkan puasa sunnah di bulan Sya'ban. Aisyah ra berkata : "Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sebulan penuh, kecuali bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan lainnya kecuali pada bulan Sya'ban" (H.R. Bukhari/1833 dan Muslim/1956).

Ibnu Abbas ra membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar : "Shaum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Sya'ban sebagai puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Sya'ban. Dan beliau berpuasa untuk mengagungkan bulan Sya'ban".

Puasa Sya'ban adalah persiapan untuk menjalani puasa Ramadhan. Bagi kita, persiapan semacam ini tentu menjadi sangat penting, khususnya banyak dari kita yang  melewati satu tahun dengan penuh kesibukan hingga jarang melakukan puasa sunnah.

Demikian juga termasuk faedah dari puasa di bulan Sya'ban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.

Ketiga, tidak berpuasa di akhir Sya'ban, meskipun secara umum kita dianjurkan untuk memperbanyak puasa sunnah, namun syariat kita membatasi dan mengingatkan agar tidak menjalankan di akhir Sya'ban. Bahkan ada juga pendapat yang memakruhkan puasa sunnah setelah lima belas Sya'ban.

Akan tetapi larangan ini tidak berlaku bagi mereka yang memang terbiasa melakukan puasa sunnah pada bulan-bulan sebelumnya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah." (H.R. Muslim).

Disebutkan Shahihain dar 'Imran bin Hushain ra bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan ini?" Dia berkata: "Tidak". Maka beliau bersabda, "Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari." Dan dalam riwayat Bukhari : "Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan."

Sementara dalam riwayat Muslim, "Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya'ban?" (H.R. Bukhari 4 / 200 dan Muslim No. 1161).

Telah terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena istsrar-nya bulan (yakni tersembunyinya bulan).

Dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Sya'ban ada tiga keadaan.

Pertama, berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.

Kedua, berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha' Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah atau lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian.

Ketiga, berpuasa dengan niat puasa sunnah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya'ban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri yang meskipun sudah terbiasa  berpuasa, akan tetapi Imam Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Imam Asy-Syafi'i, Al-Auzi', dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.

Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah di atas yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunnah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya'ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan (ditakutkan masuk pada bulan Ramadhan).

Sya'ban telah menjelang dan bulan Ramadhan benar-benar telah ada di hadapan. Mari kita mempersiapkan diri menyambut bulan mulia itu dengan memperbanyak amal di bulan Sya'ban. Kita persiapkan diri kita baik fisik dan rohani untuk bulan yang penuh karunia tersebut.

Mempersiapkan rohani kita adalah dengan mulia mempelajari hal-hal penting yang perlu kita amalkan selama bulan tersebut. Kita buka kembali pelajaran fiqhus-shiyam kita, yaitu fikih berpuasa yang benar dan sesuai dengan syariat Islam. Kita sadarkan diri kita akan pentingnya bulan tersebut bagi agama dan keimanan.

Secara fisik, kita juga harus mempersiapkan diri di bulan ini dengan melatihkan diri memperbanyak ibadah dan membiasakannya. Itulah salah satu hikmah kita dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Sya'ban.

Dan tidak hanya itu saja kebersihan hati dalam melaksanakan ibadah terutama mengisi waktu-waktu menjelang Ramadhan merupakan syarat mutlak bagi setiap muslim. Dengan demikian persyaratan ibadah yang salah satunya adalah ikhlas guna diterimanya ibadah itu sendiri, akan dapat terwujud. Wallahu A'lam


(Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No. 26 Thn.XXXVIII, 29 Sya'ban 1432 H/1 Juli 2011 M Oleh Muttaqin Salam, S. Kom.I)

Post a Comment

 
Top