"Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat). Lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah `azza wa jalla berfirman : "Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia". Ibrahim bertanya : 'Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin) ? Allah `azza wa jalla  menjawab, janji (amanat) Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang yang zalim". (Q.S. Al-Baqarah [2] : 124).

Salah satu konsekuensi logis dari sistem demokrasi adalah terbukanya kran kebebasan untuk berekspresi, mengeluarkan pendapat bahkan mempromosikan diri untuk dipilih menjadi pemimpin atau anggota legislatif. Maka tak ayal bermunculan wajah-wajah yang terpampang di pinggir-pinggir jalan pada spanduk atau baliho-baliho dalam ukuran besar bahkan ada bergelantungan di tiang-tiang listrik atau pohon-pohon. Fenomena tersebut seakan-akan menyiratkan sebuah pesan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami inflasi calon pemimpin atau mungkin sebaliknya, krisis kepemimpinan.

Jabatan formal maupun informal di negeri kita saat ini seakan-akan dijadikan sebagai sebuah "aset", memasuki kancah politik seakan-akan sebuah investasi karena, baik secara langsung maupun tidak langsung, jabatan sangat menjanjikan keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya.

Maka, tidaklah heran menjadi kepala daerah seperti gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi banyak orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis dan komedian. Karena jabatan dianggap sebuah prestise (bukan prestasi), kebanggaan, popularitas dan segala fasilitas, kewenangan tanpa batas, maka jabatan menjadi ajang rebutan dan kompetesi sehingga lahirlah sikap menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Jabatan dipandang sebagai "jembatan emas" untuk meraih segala-galanya sehingga muncullah slogan "segenggam kekuasaan lebih berharga daripada setumpuk harta". Terkadang mereka tanpa menyadari siapa dirinya, apa kemampuan yang ia miliki untuk itu. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang diharapkan serta dinilai banyak orang.

Hakikat Kepemimpinan dalam Islam

Ada beberapa isyarat Al-Qur'an yang harus diperhatikan terkait dengan kepemimpinan.
Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Qur'an bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, melainkan merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah `azza wa jalla. Misalnya janji Allah kepada Nabi Ibrahim 'alahissalam sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 124 di atas. Dari ayat tersebut dapat ditangkap suatu pesan moral bahwa kepemimpinan adalah amanah, titipan dari Allah, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Karena itu pula ketika sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Dzar meminta suatu jabatan, Nabi bersabda : "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)" (H.R. Muslim).

Sikap yang sama juga ditunjukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, di mana orang itu berkata : "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. Maka jawab Rasul : "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu". (H.R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan itu pada hakikatnya sebuah teladanan di mana seorang pemimpin harus memberikan contoh yang baik dan benar dalam bersikap dan bertingkah laku kepada umat atau rakyatnya. Makna ini terkandung dalam kata imam yang makna harfiahnya adalah orang yang berada di depan. Maksudnya, sosok yang pantas diikuti dan dipanuti oleh umat sebagaimana predikat imam yang disandangkan Allah kepada nabi Ibrahim 'alahissalam

Sebaliknya bila seorang pemimpin tidak mampu memberikan teladan yang baik kepada rakyatnya atau bersifat zalim, maka ia tak layak dijadikan sebagai pemimpin.

Ketiga, kepemimpinan mengandung nilai edukasi, di mana seorang pemimpin harus mampu menunjuki serta membimbing rakyatnya kepada jalan Allah `azza wa jalla : "Sesungguhnya Kami telah berikan kitab (Taurat) kepada Musa dan telah Kami jadikan ia petunjuk bagi Bani Israil, maka jangan engkau (Muhammad) ragu-ragu menerima (Al-Qur'an ini) dan telah Kami jadikan dikalangan mereka imam-imam yang menunjuki mereka berdasarkan perintah Kami manakala mereka bersabar ..." (Q.S. As-Sajdah : 23-24)

Jadi seorang pemimpin harus dapat memberi bimbingan dengan penuh kesabaran kepada rakyatnya agar mereka taat kepada Allah `azza wa jalla. Bukan pemimpin yang menggiring rakyatnya kepada kemusyrikan sebagai upaya untuk mempertahankan atau melanggengkan kekuasaannya. Sebagaimana firman Allah `azza wa jalla : "Mereka telah menjadikan orang-orang alimnya (Yahudi) serta rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai Tuhan selain Allah" (Q.S. At Taubah : 31). Maksudnya ialah pemimpin-pemimpin yang mengajarkan kefanatikan kepada rakyatnya agar ia dapat bertindak sewenang-wenang tanpa ada yang berani menyampaikan kritikan atau kontrol sosial.

Keempat, kepemimpinan merupakan amanah Allah yang harus dipertanggung-jawabkan. Karena itu, istilah pemimpin juga diungkapkan dengan kata "khalifah". Makna khalifah penekanannya lebih kepada pengemban amanah. Manusia pada umumnya adalah khalifah dalam arti pengemban amanah Allah di bumi.

Tugas dan fungsi kekhalifahan terletak pada kemampuan memahami, menundukkan, memanfaatkan, menjaga dan melestarikan alam. Allah `azza wa jalla telah memberikan ilmu kepada manusia tidak kepada malaikat kecuali sekedarnya saja, karena itu, manusia dapat memahami sifat-sifat dan tingkah laku alam semesta.

Dengan ilmu itu manusia mampu menundukkan atau beradaptasi dengan alam sehingga pada gilirannya ia dapat mengambil manfaat untuk kemaslahatan hidupnya. Sebagaimana firman-Nya : "Dan Dia telah menundukkan bagimu segala yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir" (Q.S. Al-Jatsiyah : 13).

Sebenarnya tugas kekhalifahan itu tidak boleh berhenti pada memanfaatkan alam saja tapi harus berlanjut kepada pemeliharaan dan pelestariannya. Seorang pemimpin, baik kepala negara maupun kepala daerah harus punya visi dan misi untuk memelihara dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam yang ada dalam wilayah kekuasaannya.

Pemimpin yang serakah mengeksploitasi serta mengeruk sumber-sumber kekayaan alam tanpa mau melestarikannya tidak layak untuk menjadi pemimpin. Apalagi pemimpin yang sibuk memperkaya diri dan keluarga, 'asyik dan ma'syuk menikmati kekayaan, mengoleksi mobil-mobil mewah dari berbagai mereknya, sementara rakyatnya bergumul dengan kesusahan dan penderitaan hidup, anak-anak sekolah pada bergelantungan meniti sehelai kawat saat menyeberangi sungai untuk menuju tempat sekolahnya. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang zalim, dan tidak pantas dipertahankan lagi. Tentu lebih zalim lagi pendukung-pendukungnya yang sudah gelap hati dan pikirannya.

Kelima, pemimpin itu disebut juga Ulil Amri maksudnya orang-orang yang mengurusi urusan masyarakat atau umat. Allah `azza wa jalla memerintahkan umat-Nya agar patuh (taat) kepada Ulil Amri tersebut (Q.S. An-Nisaa : 59). Berdasarkan ayat ini, ada tiga yang wajib ditaati yaitu Allah, Rasulullah, dan Ulil Amri (pemimpin).

Namun, para ulama membedakan tingkat ketaatan kepada Allah dan Rasul dengan ketaatan kepada pemimpin. Ketaatan kepada Allah dan Rasul bersifat mutlak sedangkan ketaatan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak. Laa tho'ata li makhluuqin fii ma'shiyyatillah, artinya : Tidak wajib taat kepada manusia yang mendurhakai Allah `azza wa jalla. Maka pemimpin yang tidak menunjukkan ketaatannya kepada Alalh tidak wajib dipatuhi. Pepatah Melayu mengatakan : "Raja adil raja sembah, raja zalim raja sanggah". Wallahu A'lam

(Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.25 Thn.XLI, 22 Sya'ban 1435 H/20 Juni 2014 Oleh Dr. Ahmad Kosasih, MA)

Post a Comment

 
Top