"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Q.S. At-Taubah [9] : 20)

Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama artinya dengan kelahiran perubahan. Dari sistem hidup jahili kepada sistem hidup islami. Dari kehidupan yang bejat kepada kehidupan yang bermartabat. Kurang lebih 23 tahun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin langsung perubahan itu. Hasilnya, diakui oleh kawan dan lawan.

Dalam kancah politik memperebutkan kekuasaan, kata "perubahan" menjadi kata yang sangat popular. Bahkan dianggap sebagai ungkapan sakral untuk mendapatkan kemenangan.

Dalam kampanye menuju perubahan, orang sering mengaitkan dengan perubahan yang bersifat fisik material. Muaranya adalah kesejahteraan. Jarang sekali perubahan dikaitkan dengan perubahan mental spiritual. Padahal esensi perubahan akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan adalah perubahan mental spiritual. Allah berfirman dalam surat Ar-Ra'ad ayat ke-11, "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah anfus-nya (kualitas hidupnya)".

Dalam surat Al-Anfal ayat 53 Allah pun berfirman, "(Siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Dua ayat itu mengantarkan kita kepada satu kesimpulan bahwa perubahan hakiki yang akan membawa kita kepada kesejahteraan adalah perubahan mental. Perbuhan fisik tidak akan otomatis menyebabkan terjadinya perubahan mental, tapi perubahan mental otomatis akan membawa perubahan fisik.

Hasil dari perubahan fisik, hanya bisa melahirkan kesejahteraan semu, kesejahteraan yang menipu. Secara kasat mata, seperti dia sukses, dia sejahtera. Tapi, sebenarnya dia hanya mendapatkan kesejahteraan semu dan akan berakhir dengan kegelisahan dan keresahan. Sementara, perubahan mental spiritual adalah perubahan yang hakiki, perubahan sejati yang akan mengantarkan kita kepada kehidupan yang sejahtera, baik lahir maupun batin. Tuntunan Allah dalam surat At-Taubah ayat yang ke-20 bisa kita jadikan alasan bahwa perubahan mental akan mengantarkan kita kepada kemenangan dan kebahagiaan lahir dan batin. Dunia dan akhirat. Firman Allah `azza wa jalla, "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Q.S. At-Taubah [9] : 20)

Pada ayat di atas Allah `azza wa jalla menyebutkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mengadakan perubahan menuju kemenangan dan kesuksesan yang bisa membawa manusia kepada kesejahteraan.

Pertama adalah Iman
Iman adalah sumber kekayaan dan kekuatan yang bisa mengantarkan manusia kepada kemenangan dan kesuksesan, menuju kehidupan yang baik. Allah `azza wa jalla berfirman, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Q.S. An-Nahl [14] : 97)

Iman yang akan menjadi submer kekayaan dan kekuatan adalah iman yang bisa melahirkan keikhlasan. Orang yang iman banyak, tapi orang yang ikhlas tidak banyak. Ikhlas adalah perwujudan dari pernyataan dan ikrar kita, qul inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin. "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (Q.S. Al-An'am [6] : 162)

Sikap ini harus tertanam secara benar di dalam hati manusia, sehingga dia akan menjadi pondasi bagi seluruh gerak dan gerakannya. Untuk itu, membangun dan meningkatkan kualitas keimanan yang bisa mewujudkan dalam bentuk keikhlasan, harus menjadi prioritas pertama dan utama. Sebab iman yang bisa melahirkan keikhlasan, merupakan kunci untuk melakukan perubahan menuju kesejahteraan.

Kedua adalah Hijrah
Hijrah dalam pengertian berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, pernah dilakukan oleh umat Islam pada masa awal da'wah yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena tekanan terhadap umat Islam yang dilakukan oleh orang musyrik di Mekkah, Rasulullah pernah memerintahkan umat Islam untuk hijrah ke Habasyah. Bahkan puncaknya, Rasulullah pun hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Lewat peristiwa hijrah ke Habasyah dan Madinah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita tentang "Hijrah Makani", berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi setelah Fathu Makkah, artinya kota Makkah kembali ke pangkuan umat Islam, Rasulullah bersabda, "Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah." (H.R. Bukhari /3077 dan Muslim/1353).

Adapun terkait dengan hijrah yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Orang yang hijrah itu adalah orang-orang yang meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah".

Lewat hadits tadi, Rasulullah menyampaikan kepada kita tentang "Hijrah Ma'nawi", hijrah mental. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan juga kepada kita, bahwa "Hijrah Makani" sifatnya temporal, sedangkan "Hijrah Ma'nawi" sifatnya permanen, terus menerus.

Lewat hadits ini juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing logika kita untuk bisa sampai kepada kesimpulan "bahwa hijrah (perubahan) yang hakiki, yang bisa mengantarkan kita kepada kesejahteraan adalah perubahan mental spiritual".

Hijrah (perubahan) yang harus kita lakukan adalah perubahan pada keyakinan, perubahan pada ucapan dan perubahan pada tingkah laku. Agar perubahan itu bisa mengantarkan kita kepada kebahagian dan kesejahteraan, maka perubahan itu harus dipandu dengan "Ilmu". Dan ilmu yang bisa memandu perubahan adalah ilmu yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih.

Jika sumbernya Al-Qur'an dan as-Sunnah, maka semua ilmu yang digunakan untuk melakukan perubahan pasti akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan dan kebahagian.

Ketiga adalah Jihad
Hampir setiap kata jihad dalam Al-Qur'an selalu dikaitkan dengan "fi sabilillah" dan dikaitkan dengan "harta dan jiwa". Dengan demikian, bisa kita pahami bahwa jihad itu adalah mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki, baik harta maupun jiwa, di jalan Allah untuk menggapai ridha Allah `azza wa jalla.

Penegasan kata "fi sabilillah" mengikuti kata "jihad" untuk menggambarkan adanya bentuk jihad lain, selain di jalan Allah. Bilah jihad "fi sabilillah" disebutkan yuhrijuhum min al-dhulumati illa nurr (mengeluarkan) mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman), maka jihad di luar jalan Allah disebut oleh Al-Qur'an yuhrijuhum min an-nurr illa dhulumati (mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).

Dua bentuk jihad itu selalu tampil di atas pentas kehidupan dan akan terus bertarung dalam waktu yang panjang. Dulu, sekarang dan yang akan datang, sampai Allah `azza wa jalla menghancurkan alam ini yang bernama kiamat. Karena itu, harta dan jiwa, logistik dan prajurit yang memiliki komitmen idiologi yang kuat, menjadi sesuatu yang harus selalu tersedia.

Bila iman sebagai komitmen moral, hijrah sebagai komitmen operasional dan jihad sebagai komitmen kualitas dan kuantitas moral dan operasional sudah ada dan tumbuh dalam kehidupan, maka pasti Allah akan meninggikan derajatnya dan pasti Allah akan memberi kemenangan. Sehingga dia akan sampai kepada yang diinginkan. Yaitu kebaikan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Wallahu A'lam bish shawab.

(Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.8 Thn.XLI, 21 Rabi'ul Akhir 1435 H/21 Februari 2014 M Oleh KH. Syuhada Bahri - Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia)

Post a Comment

 
Top