Kehidupan dunia ini luar biasa menggiurkan dan memperdayakan. Sementara itu, manusia juga diciptakan lengkap dengan hawa nafsu atau syahwat.

Maka, persenyawaan antara kedua faktor yang secara ontologis saling memecundangi ini, terjadilah serial `drama kolosal' yang telah membuat ingar-bingar dan gonjang- ganjing di atas pentas sejarah, dulu hingga kini. Tragedi demi tragedi dan bencana demi bencana yang bersifat kemanusiaan maupun ekologis terus susul-menyusul menghiasi kanvas sejarah manusia.

Sejarah telah mencatat bahwa tatkala nafsu atau syahwat manusia ini semakin dominan dan lepas kontrol maka semakin dahsyat pula level tragedi atau bencana yang ditimbulkan. Dan, sebaliknya, tatkala nafsu (syahwat) ini dapat dikontrol (dimoderasikan), selama itu pula kehidupan di atas bumi ini menjadi indah, dinamis, dan dapat menebarkan berkah kepada semua.

Sejatinya, letak persoalan di sini bukannya pada faktor ontologi kehidupan dan nafsu manusia per se, melainkan lebih pada fungsi kontrol yang ada pada diri manusia. Sayangnya, secara naluriah, kesadaran manusia tentang kontrol diri (self control) ini sangat lemah dan tak dapat tumbuh dengan sendirinya.

Karena itu, atas kasih sayang-Nya, Allah SWT menurunkan petunjuk dan ajaran (syariat) sebagai mekanisme yang efektif untuk menumbuhkembangkan kesadaran self-control tersebut dalam diri manusia. Salah satunya adalah puasa.

Sesungguhnya puasa yang disyariatkan dalam Islam bukanlah dimaksudkan untuk mematikan nafsu secara total. Tujuannya adalah untuk mengontrol agar nafsu (syahwat) ini berada dalam posisi moderat. Hal ini menjaga agar manusia bisa menjadi manusia normal (manusiawi).

Apa jadinya jika manusia hidup tanpa nafsu (syahwat)? Tentu sangat tidak manusiawi. Bukan hanya kualitas hidupnya yang menjadi rendah dan tak bernilai, melainkan justru akan mengancam keberlangsungan hidup manusia di atas bumi itu sendiri. Dengan kata lain, syariat puasa sejatinya adalah untuk kepentingan manusia membangun kesadaran dan nilai-nilai kemanusiaannya sendiri.

Tujuan pembangunan kesadaran yang mulia ini hanya akan tercapai jika puasa ini dilaksanakan dengan sempurna. Yakni, puasa yang dikategorikan oleh sebagian ulama, seperti Imam Ghazali, sebagai puasa orang- orang khas (shaum al-khawash), atau bahkan puasa orang-orang yang lebih khas (shaum khawash al-khawash), dan bukan hanya puasanya orang kebanyakan (shaum al-awwam) yang sebatas menahan penyaluran syahwat perut dan farji (organ seksual).

Adapun, puasa orang-orang khas itu adalah di samping puasa orang awam tadi ada tambahannya, yaitu menahan pancaindera dari dosa dalam segala bentuknya. Sedangkan, puasa orang-orang yang lebih khas adalah lebih tinggi dari kedua kategori sebelumnya, yakni menahan hati dari mengingat atau berpikir segala sesuatu selain Allah SWT.

Dari ketiga kategori puasa ini, tentu saja yang jelas menjamin bisa terbentuknya kesadaran yang diperlukan adalah kategori yang ketiga. Yakni, seorang hamba benar-benar berada dalam kondisi `kesadaran bertuhan' (God consciousness)yang prima. Dengan kata lain, dari takwa yang disebutkan dalam surah al-Baqarah [2]: 183 sebagai tujuan disyariatkannya puasa. Wallahu a'lam.

(sumber:Republika, edisi Minggu, 13 Juli 2014 Hal. 1 Oleh Ani Malik Thoha PhD)

Post a Comment

 
Top