Ketika saya memulai dakwah di sebuah masjid, seorang teman berkata, "Aa Gym, masalah umat begini gawat dan pelik, mengapa Aa Gym wirid saja di masjid!" Jawab saya, "Bagaimana saya berjuang mengurus umat kalau mengurus diri saja belum betul. Kalau saya bisa mengurus mulut, mata, dan diri ini, mudah-mudahan Allah membuat saya bisa mengurus sesuatu. Saya percaya semuanya diawali dari kemampuan mengurus diri."

Lambat laun ada seseorang yang mau diurus yaitu istri saya, kemudian adik, keluarga dekat, tetangga, hingga akhirnya melebar, tak menyangka sekarang menjadi sebanyak ini. Langkah yang paling strategis untuk mengubah sesuatu adalah dengan 3M. M yang pertama, mulailah dari diri sendiri. Yang paling penting kita harus realistis mengukur diri sendiri.

Mengubah apapun akan sulit jikalau kita tak bisa mengubah diri. Jangan sampai kita sibuk memikirkan berjuang untuk umat, tapi ternyata menyelamatkan diri saja belum tentu selamat. Inilah yang berbahaya bagi kita. Alat ukur perjuangan seseorang tak dilihat dari kemampuannya mengubah yang besar. Misalnya, seorang pendakwah yang baik adalah orang yang dengan dakwahnya, maka dirinya bisa menjadi lebih baik. Apalah artinya kita banyak berdakwah jika diri kita sendiri belum benar.

Mengupayakan diri agar berubah menjadi lebih baik merupakan kewajiban setiap orang, sedangkan berubah tidaknya orang lain bukan tugas kita, tetapi tugas kita adalah terus menerus menyampaikan ilmu agar orang dapat berubah lebih baik. Kalaupun orang lain berubah, maka itu hanyalah hadiah dari Allah karena kita meneladaninya, bukan karena kita yang mengubahnya, tetapi ia sendiri yang memperbaiki dirinya. Masalah bangsa ini sangat kompleks, hampir setiap sisi harus diperbaiki. Kalau kita membaca segmen dakwah, teryata sebagian besar orang Islam di Indonesia itu belum tersentuh oleh dakwahnya sendiri.

Kata jihad itu tak hanya ditakuti oleh orang non-Islam, bahkan orang Islam pun banyak yang ketakutan. Inilah keadaan umat Islam saat ini. Begitu luas spektrum dakwah dalam Islam, kita perlu berbagi tugas. Ada bagian yang terjun ke dalam politik, ada bagian pendobrak, ada yang berkeliling ke masjid-masjid, dan ada yang bisa bersikap tegas. Kita hormati semua segmen. Tak usah saling meremehkan dan tempatkan diri kita dalam posisi yang paling tepat. Saya harus menyadari siapa diri ini, karenanya saya memilih dakwah dengan minimal konflik agar energinya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk bersinergi daripada digunakan untuk beradu dengan sesama umat Islam.

M yang kedua, mulailah dari hal-hal yang kecil. Banyak yang berujar, "Kita harus merapikan bangsa ini." Jangankan merapikan bangsa, merapikan sandal di masjid saja belum bisa. Kalau kita membiasakan rapi terhadap perkara yang kecil, semoga Allah mengizinkan kita berbuat yang lebih besar. Bukankah setiap yang besar itu rangkaian dari yang segala yang kecil-kecil? Menit rangkaian dari detik, jam rangkaian dari menit, tahun rangkaian dari bulan. Begitupun, garis itu rangkaian dari titik, uang sebanyak apapun adalah kumpulan dari beberapa rupiah, dan seterusnya.

Sebenarnya kata kecil itu hanya untuk kita (karena kita seringkali meremehkannya), bagi Allah tak ada yang kecil. Misalnya, manusia dianggap kecil dibandingkan dengan gajah, tapi jika dibandingkan dengan ayam manusia itu besar. Semut itu kecil jika dibandingkan dengan ayam, tapi semut menjadi besar jika dibanding dengan kuman. Demi Allah, yang lebih kecil dari kuman itu adalah ciptaan Allah. Sekecil apapun, Allah-lah yang mengurusnya setiap waktu.

Lalu amal mana yang kecil bagi Allah? Memungut sampah itu amal besar, sampah itu besar dibandingkan bakteri di dalamnya. Memindahkan paku payung itu amal dahsyat. Menyelamatkan seekor semut juga amal yang luar biasa. Sayangnya kita sering menganggapnya kecil, padahal semua itu perkara besar. Maka, mulailah dari hal-hal yang kecil.

M yang ketiga, mulailah saat ini. Salah satu yang bisa membuat kita bersegera berbuat kebaikan adalah mengingat mati. Andaikata kita menunda-nunda shalat, bagaimana kalau malaikat maut datang menjemput nyawa sebelum kita shalat.

Andaikata kita menunda-nunda melaksanakan ibadah haji, belum tentu tahun depan kita masih hidup. Kita tak bersegera melaksanakan amal kebaikan hanya karena kita enggan, setanlah yang membuat kita berat bersegera melaksanakan amal kebaikan. Mudah-mudahan kita tak termasuk orang-orang yang menunda-nunda berbuat baik karena bisa jadi ajal datang mendahului kebaikan yang akan kita lakukan.
Penulis : Abdullah Gymnastiar
REPUBLIKA - Jumat, 03 Januari 2003

(sumber:republika.co.id)

Post a Comment

 
Top