"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (QS Ar Ruum [30]: 30)
Bersabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya setiap yang dilahirkan dalam keadaan fitrah." Allah Mahaadil. Adalah fitrah bahwa kita lahir ke dunia ini tak dibebani dosa apapun. Salah satu yang paling fitrah dari karunia Allah pada manusia adalah kita membutuhkan menuhankan sesuatu. Cirinya adalah setiap manusia cenderung mengabdikan seluruh hidupnya pada sesuatu yang dia anggap tuhan (bahkan orang-orang komunis dan ateis sekalipun). Ada juga yang menuhankan kekuasaan, harta ataupun kedudukan.
Bagi manusia yang berada dalam fitrah yang benar, maka dia akan menuhankan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Misalnya ada orang yang menuhankan kekuasaan, bagi orang yang menuhankan Allah, maka dia akan meyakini bahwa kekuasaan itu sesungguhnya adalah milik Allah yang dititipkan sejenak pada manusia. Ada yang menuhankan harta, padahal hakikat harta di dunia ini hanya tiga, yaitu yang dimakan menjadi kotoran, yang dipakai menjadi usang, dan yang dinafkahkan (insya Allah) menjadi amal shaleh. Setiap kali kita menuhankan sesuatu selain Allah, kita akan diperbudak oleh apa yang kita tuhankan hingga kita akan menjadi sangat terhina.
Orang yang kembali ke fitrah adalah orang yang kembali menuhankan Allah Yang Mahaagung. Posisinya begini. Allah pemilik alam semesta ini menciptakan kita selaku hamba-Nya. Agar kita efektif menghamba kepada-Nya, maka Allah menciptakan dunia beserta segala isinya. Dunia adalah pelayan kita. Semua yang ada di dunia adalah sarana dari Allah agar kita bisa semaksimal mungkin mempersembahkan hidup kita untuk mengabdi kepada-Nya.
Maka, sudah sepatutnya setiap usai Ramadhan kita berupaya kembali ke fitrah, kembali melihat dunia hanya sebagai tempat mampir, bukan sebagai tujuan ataupun sesembahan kita. Lantas, bagaimanakah ciri orang yang Ramadhannya sukses?
Pertama, ia semakin mengenal Allah Azza wa Jalla. Ciri orang yang mengenal Allah (di antaranya) adalah pertama, hatinya akan makin tenteram dan bahagia, buah dari latihan dzikir selama Ramadhan. Mohon diingat, hanya dengan mengingat-Nya hati bisa menjadi tenang, tenteram. Kedua, melihat dunia ini kecil, biasa saja. Karena baginya Allah adalah segalanya. Ikhtiar melakukan yang terbaik bukan tujuan, melainkan ladang amal.
Ketiga, sabar, tak gentar terhadap apapun. Karena meyakini bahwa segala masalah pasti telah diukur oleh Allah. Keempat tawadhu', rendah hati. Tak bisa masuk surga orang yang di hatinya ada takabur sebesar dzarrah saja. Kelima, wara', hati-hati, tidak serakah atau licik. Licik tak akan menambah rezeki kecuali menambah kehinaan. Kalau kita berusaha makrifat, insya Allah kita akan menikmati hidup dengan bersih hati. Sebab, Allah sangat dekat dengan orang yang qalbun saliim.
Ciri kedua orang yang Ramadhannya sukses ialah ia semakin mengenal Rasul. Kita butuh tuntunan. Dan sebaik-baik tuntunan yaitu tuntunan Rasulullah SAW; beliau tak pernah ada bandingannya. Bahkan ada seorang non-Muslim mengakui bahwa manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah adalah Muhammad, pemimpinnya umat Islam.
Orang yang sukses Ramadhannya, bisa dilihat dari kegigihannya mengenali Rasul dan meneladaninya. Semua aspek kehidupan mulai dari yang kecil sampai yang besar dicontohkan oleh beliau, kita tinggal menirunya saja. Misalnya tersenyum, berwajah cerah dan jernih, sangat memuliakan istri-istrinya, dan sangat penyayang terhadap anak-anak. Beliau adalah pemimpin yang sangat bersahaja. Terhadap musuh, walau berani pantang menyerah memberantas kebatilan, tapi beliau tetap berakhlak sangat mulia, tak mengenal kezaliman.
Kalau saat Ramadhan kita memacu diri dan sesudah Idul Fitri kita gigih berupaya dalam dua hal tadi, tinggal kita tunggu saat kepulangan kita yang semoga penuh kehormatan (husnul khatimah). Mari kita membuka lembaran baru di bulan Syawal ini dengan menjadi hamba yang sangat bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Hidup hanyalah untuk mempersembahkan yang terbaik. Bermakna bagi dunia dan berarti bagi akhirat. Bermanfaat bagi diri dan penuh maslahat bagi umat. Selamat menikmati Idul Fitri yang penuh dengan kegigihan untuk akrab dengan Allah dan kesungguhan untuk menjalani sunnah Rasul.
(sumber:Republika Oleh KH Abdullah Gymnastiar edisi Jumat, 13 Desember 2002)
Post a Comment