Memilih Pemimpin Menurut Imam al-Mawardi, ada dua fungsi utama kepemimpinan yang menunjukkan pentingnya kepemimpinan itu, yakni menjaga agama (khirasat al-din) dan mengelola urusan dunia (siyasat al-din). Maka memilih pemimpin atau membangun kepemimpinan (nashb al-imamah) bagi pakar hukum tata negara Islam ini, wajib hukumnya, baik secara syar'i maupun 'aqli.

Dalam bahasa Arab, memilih itu disebut al-Ikhtiyar, berasal dari kata khair, yang secara harfiah berarti baik (terbaik). Jadi, memilih adalah kegiatan mencari dan menetapkan sesuatu yang terbaik (making the best choice). Untuk itu, pemilih mesti memiliki dan memenuhi persyaratan-persyaratan.

Persyaratan awal bagi pemilih, menurut al-Mawardi, yakni adil dalam pengertian yang sebenarnya (al-jami'ah li syuruthiha). Adil di sini berarti pemilih memiliki moral dan keluhuran budi pekerti sehingga ia tidak memihak kepada calon tertentu, tetapi memberikan penilaian jujur dan objektif kepada calon.

Adil juga berarti menjatuhkan pilihan setelah melakukan penilaian kepada calon yang dianggap terbaik, tanpa bisa dipengaruhi oleh money politicsalias tak bisa dibeli dan disuap. Menjatuhkan pilihan karena uang (suap) merupakan tindakan tercela, bahkan terkutuk. Rasulullah SAW mengutuk penyuap dan yang disuap (la'natulllah `ala al-Rasyi wa al-Murtasyi). (HR Abu Dauda, Tirmidzi, dan Nasa'i).

Persyaratan berikutnya bahwa pemilih mesti mengetahui dengan pasti siapa yang akan dipilih. Jangan sampai ia memilih kucing dalam karung.
Pengetahuan ini, menurut al-Mawardi, harus mengantar pemilih menjatuhkan pilihan kepada orang yang tepat atau orang yang ashlah, yaitu orang yang akan membawa kebaikan lebih besar bagi kemajuan bangsa.

Ada beberapa hal yang mesti di ketahui pemilih. Pertama, visi, misi, dan program sang calon. Kedua, komitmen dan kesungguhannya. Ketiga, kapabilitasnya dalam ikhtiar mewujudkan visi dan misi.
Ini terkait dengan keterampilan manajemen dan kepemimpinan sang calon.

Keempat, rekam jejaknya. Pada era sekarang, pemimpin bukan "dewa" atau "ratu piningit" yang turun dari kayangan. Ia sejatinya manusia biasa, anggota dari masyarakat, dengan sedikit kelebihan, baik secara moral, intelektual, maupun spiritual. Karena itu, rekam jejaknya mesti jelas.

Persyaratan yang berikutnya lagi, yaitu pemilih mesti cerdas (waras) dan arif. Dengan cerdas, pemilih benar- benar menggunakan hak pilihnya secara benar dan penuh rasa tanggung jawab untuk kemaslahatan bangsa. Ia tidak menjadi golongan putih (golput) dan tidak pula menjadi "petualang, pengacau" yang memancing di air keruh hanya untuk memenuhi syahwat politiknya. Dengan arif, ia ikut serta menciptakan suasana kondusif agar pemilihan berjalan damai dan sukses.

Terakhir, pemilih seyogyanya berdoa, memohon bimbingan dan petunjuk Allah agar pilihannya tepat. "Katakanlah, `Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. '" (QS Ali Imran [3]: 26).

(sumber:Republika, edisi Rabu, 9 Juli 2014 Hal. 1 Oleh A Ilyas Ismail)

Post a Comment

 
Top