gratifikasi

Abu al-Humaid as-Sa'idi RA meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah mempekerjakan seseorang untuk mengam-bil dan mengumpulkan zakat di sebuah perkampungan. Ketika datang menemui Rasulullah SAW, ia berkata, "Yang ini untukmu (Rasulullah) dan yang ini adalah hadiah untukku."

Rasulullah SAW langsung naik mimbar, lalu memuji Allah SWT, kemudian menyatakan, "Bagaimana gerangan pekerja yang kami utus untuk mengambil dan mengumpulkan zakat, lalu datang sambil menyatakan, "Yang ini untukmu, sedangkan yang ini adalah hadiah untukku," "Mengapa orang itu tidak duduk di rumah ayah atau ibunya, lalu ia menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?" Demi Zat yang diriku ada dalam genggaman-Nya, lanjut Rasul, orang itu tidak datang pada hari kiamat kecuali membawa apa yang dihadiahkan kepadanya dalam keadaan dibebankan pada lehernya, ada kalanya hadiah itu berupa unta, sapi, atau kambing berikut suara masing-masing." Rasul kemudian mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat rambut kedua ketiaknya." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut juga berisi penegasan Rasulullah bahwa menerima hadiah (gratifikasi) karena terkait dengan jabatan dan kewenangan tertentu itu dilarang dan ancaman hukuman penerimanya di akhirat sangat keras, yaitu dikalungi api yang berasal dari gratifikasi yang diterimanya.

Di dalam Alquran, dijumpai kata suht yang identik dengan korupsi dan menerima gratifikasi. Esensi suht adalah memakan makanan haram yang membinasakan. Kata ini juga digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus dalam melahap makanan. Pemberian gratifikasi oleh seseorang kepada hakim, polisi, jaksa, pejabat yang berwenang, dan sebagainya dengan maksud mendapatkan keputusan yang sesuai dengan yang diinginkannya atau kebijakan yang menguntungkan dirinya dapat dipastikan merupakan rasuah.

Perlu dipahami bahwa pelaku tindak korupsi, termasuk penerima gratifikasi atau rasuah, dan lainnya dapat dikenakan hukuman hirabah. Pelaku korupsi, rasuah, atau penerima hadiah sebagai sogokan dari pihak yang berkepentingan, baik urusan bisnis, ekonomi, maupun sosial politik juga dapat diberikan sanksi sosial yang dapat memberi efek jera yang bersangkutan. Contoh hukuman sosial adalah seperti yang pernah dilakukan Abdullah ibn `Umar. Ia pernah membesuk Ibn Amir yang sedang sakit. Beliau hanya membesuk dan tidak bersedia mendoakan Ibn Amir karena diduga kuat telah melakukan kejahatan berupa korupsi. Peristiwa ini juga dimaknai bahwa Ibn Umar tidak menshalatkan jenazah koruptor. Ketika sedang sakit saja beliau tidak bersedia mendoakan, apalagi pada saat meninggal.

(sumber:Republika edisi Selasa, 27 Januari 2015 Hal. 21 Oleh Muhbib Abdul Wahab)

Post a Comment

 
Top