bahagia

Harga kebahagiaan itu murah. Jadikanlah Alquran dan hadis sebagai pedoman kehidupan. Pastikan setiap hari kita membacanya, memahami kandungannya, serta berikhtiar melaksanakannya agar menjadi Muslim yang kafah.

Dengarkan hati nurani, pemandu tindakan setiap hari. Cermin dalam diri yang selalu jujur atas setiap persoalan yang dihadapi. Seperti kisah Rasulullah SAW saat ditanya sahabat Wabishah, tentang menentukan kebaikan dan dosa, ".... Engkau datang untuk bertanya bagaimana membedakan antara kebajikan dan dosa." Wabishah pun menjawab, "Benar." Beliau pun merapatkan jari-jarinya dan menempelkannya kepada Wabishah, seraya bersabda, "Mintalah pendapat pada hatimu, mintalah pendapat kepada jiwamu, wahai Wabishah. Sesuatu itu adalah kebaikan jika membuat hati tenteram, membuat jiwa tenteram sedangkan dosa membuat kegelisahan dalam hati dan kegoncangan dalam dada. Mintalah pendapat pada hatimu, mintalah pendapat kepada jiwamu meskipun orang-orang telah memberikan pendapat mereka kepadamu tentang hal itu." (HR al-Darimi).

Peliharalah tingkat spiritualitas dengan ibadah vertikal yang terjaga. Giatlah beramal saleh yang berdampak luas bagi sesama. Dengan itu, hidup akan serasa bermakna. Ibadah ritual maupun sosial, sama-sama pentingnya karena kita hidup di dunia memiliki tugas sebagai hamba (`abid) sekaligus khalifah, memakmurkan bumi.

Ikhlas, sabar, dan syukur selalu menghiasi setiap helaan napas. Sedih dan bahagia dianggap latihan, takdir-Nya diterima dengan penuh keridhaan. Menghormati sesama, santun, dan rendah hati. Penyakit hati, seperti iri, dengki, dan tinggi hati, dijauhi. Bahagia itu tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
".... Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka."
(QS al-Baqarah [2]: 201).

Bahagia itu sederhana, hadiah terindah bagi makhluk terbaik. "Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk." (QS al-Bayyinah [98]: 7).

Hiduplah apa adanya. Jangan bebani dengan sifat ingin di hargai, dihormati, dan sifat riya lainnya. Alamiah sajalah, tanpa harus dikemas dalam bentuk pencitraan karena Tuhan tahu mana yang sungguh-sungguh dan tulus atau sebaliknya. "Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat." (QS al-Isra [17]: 25).

Kebaikan tak pernah tertukarkan dengan kejahatan atau kebaikan yang sekadar pencitraan. "Katakanlah, `Tidak sama yang buruk dengan yang baik meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.'" (QS al-Maidah [5]: 100).

Ibarat menabung, simpanlah sebanyak-banyaknya kebaikan. Khawatirlah bekal perjalanan panjang itu hanya sedikit, habis ketika tengah di perjalanan. Lupakanlah setiap kebaikan dan ingatlah selalu setiap kejahatan. Dengan melupakannya, kita akan berusaha untuk terus mengumpulkan investasi bekal abadi tersebut. Dengan mengingat dosa, lisan dan hati akan terus terjaga untuk memohon ampun kepada-Nya.

Kebaikan dan kejahatan yang kecil sekalipun, Allah SWT mengetahui dan akan menghitungnya dalam catatan amal. "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula." (QS az-Zalzalah [99]: 7-8).

Kebahagiaan sejati itu berarti surga. "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." (QS ar-Ra'd [13]: 29). Wallahu 'alam.

(sumber:Republika edisi Sabtu, 4 April 2015 Hal. 12 Oleh Iu Rusliana)

Post a Comment

 
Top